Menurut dia, tim penyidik harus terus diingatkan tentang pengambilan sampel DNA di TKP karena mereka bukan dokter dan perawat.
"Mereka tahu caranya memfoto, menyegel, membuat berita acara, tetapi pengambilan sampelnya bagaimana? Apakah pakai kantong plastik, nanti terkontaminasi nggak? Kalau ada darah bagaimana sih? Punya siapa, berapa lama," tutur dr Sumy Hastry.
Ia menjelaskan, setelah melakukan autopsi, penyidik akan bertanya pertama kali tentang waktu kematian karena penting untuk menentukan alibi.
Setelah itu cara kematian. Apakah ada luka kekerasan karena senjata tajam atau senjata tumpul.
Selanjutnya, mekanisme kematiannya, bagaimana korban meninggal dunia, apakah ada tanda perlawanan atau tidak.
Tak hanya kasus Subang, tapi juga semua kasus, kalau korbannya perempuan, menurut dr Sumy Hastry, minimal dilakukan swab dan mencari benda-benda yang menempel di tubuh jenazah.
"Takutnya ada kekerasan seksual atau ada perlawanan. Bentuk perlawanan dalam semua kasus pembunuhan, kita periksa semua, sekecil apapun misalnya, bekas gigitan, bekas cakaran," tutur Sumy Hastry.
Terkait hasil autopsi ulang kasus Subang, kendati tidak bersedia membeberkan hasilnya, Sumy Hastry mengonfirmasi kemungkinan terjadinya bias, terutama karena autopsi yang berbeda waktu.
"Tuhan masih kasih kemudahan. Jenazah masih dalam kondisi bagus. Dan saya bisa cocokkan dengan keadaan luka di tubuh korban dengan autopsi pertama," tuturnya.