Menurut Sumy Hastry, kendala secara umumnya adalah olah TKP tidak sinergi, tidak holistik, tidak bersama-sama.
"Setelah (kasusnya) digelar, masing-masing ahli berbicara, tidak connect. Akhirnya, kita ulang lagi, dari Inafisnya, penyidikannya, IT-nya, bahkan dari kedokteran forensiknya seperti saya," tutur dr Sumy Hastry.
Sumy Hastry menegaskan, kuncinya adalah tim penyidik dan saksi ahli harus selalu bersama-sama.
"Next kalau ada kasus lagi, minta dari kriminolog, ahli forensik, dan ahli lainnya seperti di Center Forensic di luar negeri. Lalu ada psikiater forensiknya yang memprofile terduga pelaku yang berubah-ubah kesaksiannya," tuturnya.
Baca Juga: KASUS SUBANG TERBARU, Misteri BMW di Rumah TKP Kasus Subang Terungkap, Ini Alasan Tidak Bisa Diambil
Terkait autopsi korban, dr Sumy Hastry menilai kedokteran forensik yang awal belum menyeluruh. Sedangkan autopsi kedua yang ia lakukan hanya untuk melengkapi data dari TKP.
"Harusnya memang tidak ada autopsi kedua di kedokteran forensik. Tapi kalau memang dianggap perlu ya kita periksa lagi. Karena memang periksa jenazah itu kayak mudah tetapi sebenarnya sulit," kata Sumy Hastry.
Ia berpendapat, seharusnya dokter forensik benar-benar bisa connect (berhubungan) dengan TKP atau datang ke TKP.
Kalau dokter forensik tidak datang ke TKP atau tidak tahu tentang TKP, Sumy Hastry menyarankan seharusnya didampingi penyidik di kamar jenazah.
Meski demikian, seharusnya ahli forensik datang ke lokasi TKP didampingi penyidik bersama-sama.