"Berbagai alasan yang disebutkan itu, menunjukan bahwa pelaksanaan program Bankeu Khusu ke desa di Pemkab Tasikmalaya tidak dilaksana dengan norma norma kepatutan, baik dari sisi akuntansi maupun dari sisi hukum,"tuturnya lagi.
Untuk itu, kata Nandang, pihaknya merasa jika Kejati Provinsi Jabar perlu untuk melakukan pengusutan secara menyeluruh terhadap proses penyaluran Bankeu tersebut. Dijelaskan pula, BPK selaku pemeriksa keuangan, juga sudah merekomendasikan pemkab guna memperbaiki mekanisme pengawasan penyaluran bantuan keuangan.
"Namun, rekomendasi tersebut tak kunjung dilaksanakan," ucapnya.
Dari sini, tambah Nandang, sudah memperlihatkan memunculkan indikasi kesengajaan untuk membiarkan terjadinya praktek pelanggaran. Dugaan pelanggaran pun, lanjutnya lagi, disinyalir melibatkan pejabat negara di lembaga eksekutif dan legislatif. Dan mereka berada di posisi strategis pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya, seperti Sekretariat Daerah dan anggota DPRD.
Dari hasil temuan BPK, cetus Nandang lagi, ada pengajuan sebanyak 344 desa dengan nilai anggaran sebesar Rp 356.929.845.643. Kemudian ada sejumlah proposal yang tidak diarsipkan dengan baik oleh Dinsos PMDP3A sehingga tercecer dan tidak ditemukan.
Menurut Nandang, bahkan ada proposal yang diusulkan dibuat secara manual dan tidak dibuatkan suatu sistem penerimaan proposal secara memadai. Kemudian, dari hasil pembahasan TAPD menyebutkan dari 344 desa yang mengajukan permohonan Bankeu Khusus untuk sarana dan prasarana TA 2021 dengan nilai Rp 356.929.845.643,00.
"Itu hanya 331 desa yang disetujui untuk diberikan bantuan keuangan dengan Rp 83.279.000.000,00 atau 23,33 persen dari nilai pengajuan permohonan yang diterima.," imbuhnya.
Informasi yang berhasil dihimpun, tambahnya, dari usulan hasil rapat TAPD tersebut, yang disetujui sekitar Rp40 miliar saja, dan itu sudah mendapat tanggapan/evaluasi dari Gubernur. Akan tetapi setelah dituangkan menjadi Perda, angkanya berubah menjadi Rp83,2 miliaran.