Anak Kecanduan Main Game, Begini Cara Orangtua Mengatasinya, Simak Penjelasan Psikolog UI

5 Januari 2022, 10:34 WIB
Ilustrasi remaja bermain game online. Psikolog UI Vera Itabiliana Hadiwidjojo menjelaskan alasan remaja kecanduan main game adalah gejolak emosi. /Pixabay/ExplorerBob/

DESKJABAR - Banyak remaja yang lebih senang menghabiskan waktu untuk bermain game atau kecanduan main game, alih-alih mengerjakan tugas sekolah atau belajar.

Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (UI), Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menjelaskan alasan remaja kecanduan main game adalah gejolak emosi yang kerap terjadi pada usia remaja.

"Remaja kesulitan mengontrol atau menahan diri untuk tidak terus-menerus bermain game karena lebih banyak dipengaruhi emosi," ucapnya seperti dikutip DeskJabar.com dari Antara, Rabu, 5 Januari 2021.

Baca Juga: SKETSA TERDUGA PEMBUNUH DI SUBANG jadi Polemik di Masyarakat, Mirip Saksi yang Muda Ini?

Menurut Vera, bagian otak prefrontal cortex pada remaja belum berfungsi secara optimal sehingga tidak mengherankan apabila perilaku dan keputusan yang mereka lakukan lebih banyak dipengaruhi emosi.

"Bagian prefrontal cortex yang membantu kita untuk mengambil keputusan atau melakukan fungsi-fungsi berpikir tingkat tinggi yang eksekutif dan memikirkan efek jangka panjang," kata Vera saat diskusi virtual bersama media.

Ia mengatakan, fungsi prefrontal cortex baru berkembang secara optimal ketika seseorang menginjak usia 20 hingga 25 tahun.

"Main game itu asyik, itu emosi semua dapatnya. Perasaan senang dan pleasure semua ada di situ. Terus bandingkan dengan belajar, nah itu berat banget," kata Vera.

Menurut Vera, untuk melakukan transisi dari kecanduan main game hingga anak memiliki kesadaran untuk belajar harus dimulai dari perubahan-perubahan dan target-target kecil yang dilakukan secara konsisten dengan didampingi oleh orangtua.

"Jadi yang kita tekankan pada anak adalah, 'Yuk, kamu pasti bisa mengendalikan keinginan kamu untuk main game.' Sebenarnya dengan mengalahkan keinginan itu saja, dia sudah berjuang supaya prefrontal cortex-nya bisa berfungsi lebih optimal," kata Vera.

Baca Juga: MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUH SUBANG, Pelaku Sangat Profesional, Achmad Taufan: Siapa yang Menyuruh Pelaku?

Contoh lain

Vera menyebutkan contoh lain, tatkala remaja mengalami kesulitan ketika mempertimbangkan dan memilih jurusan kuliah. Ketika sisi emosi yang dikedepankan dalam pengambilan keputusan, tak heran apabila remaja jelang usia 20 tahun kadang kala merasa salah mengambil jurusan.

"Ada anak yang memilih jurusan yang penting masuk negeri atau kerjanya gampang atau ada idolanya di situ. Jadi emosi yang bermain atau keinginan orangtuanya yang masuk ke sana," ujar Psikolog anak dari UI tersebut.

Dalam kasus seperti itu, Vera menekankan peran orangtua dan pendidik yang secara tidak langsung menjadi penjaga fungsi prefrontal cortex pada remaja.

Untuk mengoptimalkan fungsi otak ini, orangtua bisa membantu anak melalui diskusi mengenai konsekuensi jangka pendek dan panjang saat mereka memilih jurusan tertentu.

"Jadi kita yang rem, 'Oke, kita bahas pilihan jurusannya ada apa saja', 'Kenapa kamu mau jurusan ini', 'Ke depannya apa yang bisa kamu tekuni lagi', 'Kamu tertarik tidak untuk ambil ke sana', dan seterusnya. Itu dibahas satu-satu," kata Vera.

Baca Juga: Saksi Kasus Subang: Yosef, Yoris, Danu, Alami Gangguan Kejiwaan? Begini Analisis Psikolog dan Psikiater

Saat menjalankan proses diskusi, Vera menegaskan bahwa orangtua juga perlu menjaga kesabaran diri sendiri sebab pengambilan keputusan pada remaja memang membutuhkan waktu yang panjang.

"Banyak orangtua yang mungkin tidak sabar untuk melalui proses ini karena umur kita sudah lebih tua secara angka, jadi sudah lebih tahu apa yang mesti dilakukan. Kalau tidak sabar, orangtua malah jadi short cut, 'Sudah kamu ambil yang ini saja', padahal belum tentu sesuai dengan hati sang anak," tutur Vera.***

Editor: Samuel Lantu

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler