Ini Alasan Kejaksaan Tuntut Hukuman Mati Terdakwa Heru Hidayat Kasus Korupsi ASABRI

- 7 Desember 2021, 09:17 WIB
Suasana Sidang Kasus Asabri dengan terdakwa Heru Hidayat, jaksa penuntut umum menuntut hukuman mati
Suasana Sidang Kasus Asabri dengan terdakwa Heru Hidayat, jaksa penuntut umum menuntut hukuman mati /Foto: Puspenkum Kejagung/beritasubang.com

DESKJABAR- Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menuntut hukuman mati terhadap Heru Hidayat, terdakwa kasus korupsi di PT ASABRI yang sidangnya digelar di Pengadialn Tipikor Jakarta Pusat, Senin 7 Desember 2021 malam.

Jaksa menyebut terdakwa kasus korupsi ASABRI Heru Hidayat , bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang Undang Tipiko jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Jaksa pun menghukum terdakwa Heru Hidayat ASABRI dengan pidana mati dan membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643.400.946.226.

Baca Juga: DIPASTIKAN BERHASIL, Aledebaran Selamatkan Andin Tanpa Terluka, Ikatan Cinta Malam Ini 7 Desember 2021

Jika terdakwa Heru Hidayat korupsi ASABRI tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak sebagaimana diterima Deskjabar.com dalam rilisnya menjelaskan alasan jaksa penuntut umum menuntut hukuman mati pada Heru Hidayat.

1. Bahwa perbuatan Terdakwa Heru Hidayat dalam perkara ini telah berakibat pada kerugian keuangan negara sangat besar seluruhnya sebesar Rp22.788.566.482.083,00 , dimana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp.12.643.400.946.226.

Nilai kerugian keuangan negara dan atriubusi yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat sangat jauh diluar nalar kemanusiaan dan sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.

2. Sebelumnya, terdakwa Heru Hidayat juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis yaitu telah merugikan keuangan sebesar Rp.16.807.283.375.000,00 dengan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat seluruhnya sebesar Rp.10.728.783.375.000.,00.

Baca Juga: KISAH Si Kumpay di Danau Galuh Taruna yang Diresmikan Jenderal Ahmad Yani: Kerap Nyuruh Ikan Lainnya Sembunyi

3. Bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT. Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated.

Karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrument pasar modal dan asuransi menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar modal

Menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas. Secara langsung akibat perbuatan terdakwa telah menyebabkan begitu banyak korban anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT. ASABRI.

Hal ini ini juga termasuk dalam perkara korupsi pada PT. ASABRI termasuk pula korban-korban yang meluas terhadap ratusan ribu nasabah pemegang polis pada PT. Asuransi Jiwasraya yang tentu juga berdampak sangat besar dan serius bagi keluarganya.

4. Perbuatan terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.

Baca Juga: VIRAL, Atlet Bola Voli Main di Subang Lakukan Smes Kearah Wasit, Korps Wasit Jawa Barat Mengecam dan Boikot

5. Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.

6. Terdakwa Heru Hidayat dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas pebuatan yang telah dilakukannya, telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

7. Mengacu pada pengertian umum sebagaimana misalnya dalam KBBI, yang mengartikan “pengulangan” sebagai proses, cara, perbuatan mengulang”.

Jika tersebut, maka terdapat 2 (dua) konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan dimaknai sebagai pengulangan yaitu:

a) Heru Hidayat telah melakukan 2 (dua) perbuatan korupsi yaitu dalam perkara Korupsi PT. AJS dan perkara Korupsi PT. Asabri, dimana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan (PT. AJS sejak 2008 s.d. 2018 dan PT. ASABRI sejak tahun 2012 s.d. 2019)

Baca Juga: Gunung Semeru Meletus dan Mitos Gunung Itu Pindahan dari India ke Lumajang dan Malang, Jawa Timur

b) Dalam perkara korupsi pada PT. ASABRI dilakukan oleh Terdakwa Heru Hidayat dilakukan sejak periode sejak tahun 2012 s.d. 2019 yang berdasarkan karakterisktik perbuatannya dilakukan secara berulang dan terus menerus yaitu pembelian dan penjualan saham yang mengakibatkan kerugian bagi PT. ASABRI.

8. Selanjutnya terkait dengan Dakwaan Tidak menyebut Pasal 2 ayat (2), menurut penuntut umum frase “Keadaan tertentu” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :

“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi…”
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan bahwa:

“Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana.***

Editor: Yedi Supriadi

Sumber: Kapuspenkum Kejagung


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x