Diungkapkan, awalnya banyak yang mengartikan bahwa PJJ di masa pandemi dilaksanakan secara daring/online. Guru banyak memberikan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa melalui Grup WA, sehingga hal tersebut menimbulkan keluhan peserta didik dan orang tuanya.
Kendala lain yang dihadapi yaitu; tidak setiap peserta didik atau orang tua memiliki smartphone/laptop, akses sinyal internet yang terbatas, hingga beratnya beban biaya untuk membeli kuota data/internet.
Tugas semakin berat
“PJJ daring bukannya menjadikan tugas guru semakin ringan, tetapi semakin berat, karena mereka harus menguasai Teknologi Informasi dan Teknologi (TIK) seperti Zoom, Webex, dan Google Classroom", katanya.
Guru yang telah puluhan tahun mengajar dan gaptek terhadap TIK, tegas dia, harus berjuang keras, belajar dan beradaptasi dengan cepat TIK agar bisa mengajar para peserta didiknya. PJJ daring tidak dibatasi waktu (jam pelajaran) seperti pembelajaran tatap muka, tetapi bisa berlangsung lebih dari jam tatap muka.
Di luar jam tatap muka, menurut Idris, para guru masih harus melayani peserta didik dan orang tua yang konsultasi, bahkan mereka memantau dan memeriksa tugas-tugas para peserta didiknya sampai larut malam. Mereka pun harus menyiapkan materi yang akan disampaikan kepada para peserta didik.
Mereka harus pandai membuat video pembelajaran, menjadi presenter dadakan, aktor atau aktris dadakan karena harus beraksi di depan kamera. Bagi guru-guru yang melek TIK, hal tersebut bukan hal yang sulit, tetapi bagi guru yang gaptek TIK, hal tersebut menjadi tantangan yang cukup serius.
“Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan atau berpendapat guru makan gaji buta selama pandemi Covid-19, menurut saya, pernyataan tersebut tidak bijaksana dan tidak mengapresiasi upaya serta kerja keras guru dalam PJJ selama pandemic”, tegasnya.
Baca Juga: Duh Kasihan, 11 Bulan Guru Bantu di Garut Tidak Menerima Gaji