Menurut Buya Yahya, ulama pun sebenarnya tidak boleh dikuburkan atau dimakamkan pada areal pesantren atau masjid yang sudah diwakafkan.
Namun, kata Buya Yahya, selama ini banyak ulama yang dimakamkan di areal pesantren, karena tempatnya untuk sudah diwakafkan untuk kuburan.
“Jika wakaf bukan untuk kuburan, baik kyai maupun orang lainnya, tidak boleh dibuat kuburan, begitu pula masjid,” terang Buya Yahya.
Dengan demikian, ditegaskan Buya Yahya, bahwa mewakafkan tanah harus dipatuhi oleh semua pihak. Misalnya wakaf untuk pesantren atau masjid, harus sesuai peruntukan, bukan untuk lain-lain, misalnya kuburan.
“Kecuali ada bagian sudah dipisahkan sejak awal, misalnya untuk kuburan. Jika memaksakan kuburan pada areal tanah sudah diwakafkan untuk peruntukan lain, hukumnya haram,” terang Buya Yahya.
Kemudian Buya Yahya juga mengingatkan, bahwa urusan tanah wakaf harus tertib. Jangan sampai suatu ketika ada anak dari orang yang memberikan wakaf, kemudian menjual tanah itu, padahal di atasnya sudah ada pesantren atau masjid.
Nah, kemudian jika ada orang tua berpesan agar dikuburkan atau dimakamkan pada tanah miliknya, berarti itu tanah miliknya, dimana ahlir waris kemudian memilikinya.
“Lain halnya jika seseorang meninggal lalu dikuburkan atau dimakamkan pada tanah milik orang lain, itu hukumnya haram. Sebab, harus minta izin kepada yang punya,” terang Buya Yahya.