Dari peristiwa itu, ditarik pembelajaran yang menghadirkan tradisi serta beberapa aturan yang terus dijalankan secara turun temurun hingga kini. Antara lain tidak boleh menabuh gong besar, dan tidak diperkenankan beternak binatang besar berkaki empat namun boleh memakan atau menyembelihnya.
Baca Juga: Menguak Misteri Batu Melingkar Salawu, Ada Jejak Budaya Nenek Moyang Sunda Pra-Hindu dan Budha
Lalu, tidak boleh datang ke makam keramat pada hari Rabu dan malam Rabu. Kemudian, tidak boleh menambah bangunan pokok, menambah kepala keluarga, dan mencari nafkah di luar wilayah desa.
Soal tidak boleh memelihara hewan berkaki empat, namun tetap boleh memakan atau menyebelih hewan besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, dan sapi ternyata ada alasannya. Mata pencaharian masyarakat Kampung Pulo itu bertani dan berkebun, sehingga takut hewan tersebut merusak sawah dan kebun mereka. Selain itu juga, di daerah tersebut terdapat makam keramat, sehingga ditakutkan hewan-hewan mengotori makam.
Sementara soal larangan ziarah pada hari Rabu dan malam Rabu, karena pada masa agama Hindu, hari terbaik menyembah patung pada hari Rabu dan malam Rabu. Pada hari itu pula banyak orang yang tinggal di sekitar candi melakukan ibadah. Sungguh nuansa toleransi yang sangat menakjubkan.
Sosok Arief Muhammad
Makam kuno Arief Muhammad hanya berjarak 3 meter sebelah selatan candi. Ia yang juga dipercaya sebagai pendiri Desa Cangkuang dikenal sebagai Embah Dalem Arief Muhammad atau Maulana Ifdil Hanafi yang diduga sebagai makam dari masa Islam.
Arief Muhammad sendiri merupakan senopati atau komandan dari kerajaan Mataram Islam. Ia ditugaskan oleh sultan untuk mengusir Belanda dari tanah Batavia. Namun upaya yang dilakukan Arief Muhammad dan para pasukanya gagal dan mengalami kekalahan.
Karena kalah, Aref Muhammad enggan kembali ke Mataram, dan menyingkir ke pedalaman tanah Priangan, yakni di daerah Cangkuan Garut ini sekaligus menyebarkan agama Islam dimana sebelumnya masyarakat setempat memeluk agama Hindu.
Adalah Drs. Uka Tjandrasasmita, peneliti pituin Sunda yang penasaran dengan buku yang berjudul Notulen Bataviaach Genotscahap yang diterbitkan pada tahun 1893. Dalam buku itu disebutkan bahwa terdapat candi yang sudah mulai rusak serta makam kuno di sekitar Kampung Pulo, Leles.