Misteri Candi Cangkuang dan Kampung Pulo Garut: Tidak Boleh Bangun Rumah, Tabuh Gong dan Pelihara Hewan Besar

- 22 Juli 2021, 14:31 WIB
Candi Cangkuang di Leles, Kabupaten Garut Jawa Barat.
Candi Cangkuang di Leles, Kabupaten Garut Jawa Barat. /Disparbud Jabar/

DESKJABAR – Selama ini kita mengenal candi dengan corak Hindu adanya di Jawa Tengah. Ternyata di Garut, Jawa Barat (Jabar) juga ada candi peninggalan budaya Hindu, tepatnya di tengah situ (danau) bernama Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Leles.

Uniknya, di samping bangunan Candi Cangkuang terdapat makam kuno Embah Arief Muhammad, leluhur penduduk desa setempat yang merupakan pemuka dan penyebar agama Islam. Dengan fakta unik ini pulalah bisa ditarik kesimpulan bahwa toleransi umat beragama sudah ada di Tanah Air sejak zaman dulu, salah satunya di Cangkuang ini.

Selain candi, keunikan lainnya di Kampung Pulo yaitu tidak boleh berdiri atau ditambah bangunan lain selain 7 (tujuh) bangunan yang ada sejak abad 17. Lalu tidak boleh menabuh gong besar, tidak boleh memelihara hewan besar berkaki empat, tidak boleh berziara pada malam Rabu dan hari Rabu.

Baca Juga: Misteri Penunggu Jembatan Cirahong dan Suara Gamelan Malam Hari yang Masih Jadi Cerita Mistis

Penduduk Kampung Pulo yang berada di tengah danau atau situ Cangkuang ini  merupakan generasi ke-8, ke-9, dan ke-10 keturunan asli dari Eyang Embah Dalem Arief Muhammad.

Embah Dalem Arief Muhammad memiliki tujuh anak, enam perempuan dan satu laki-laki. Itulah sebabnya, di Kampung Pulo hanya ada enam rumah dan satu musala. Rumah-rumah tersebut diperuntukkan bagi anak perempuannya. Sementara musala untuk satu-satunya anak laki-laki.

Jumlah bangunan di Kampung Pulo itu tetap bertahan hingga kini sejak abad ke-17. Konon tidak bisa dan tidak akan ditambah dengan bangunan lain, karena itu merupakan  simbol putra-putri Embah Arief Muhammad yang memiliki tujuh anak. Begitu pula  jumlah  keluarga tidak boleh lebih tujuh kepala keluarga.

Dengan kata lain, apabila ada warga adat yang menikah, harus membangun keluarga di luar Kampung Pulo. Baru jika  ayah atau ibunya sudah meninggal, bisa masuk lagi ke kampung adat untuk mengisi kekosongan.

Ada cerita turun temurun yang hingga kini sangat dipercaya kebenarannya oleh warga Kampung Pulo. Konon,  satu-satunya anak lelaki Arief Muhammad meninggal dunia saat mau disunat.

Sahdan,  ketika anak laki-laki tersebut disunat, diadakan pesta besar. Acara hajatan dimeriahkan dengan arak-arakan sisingaan diiringi musik gamelan menggunakan gong besar. Di tengah kegembiraan,  tiba-tiba ada angin badai yang menimpa anak tersebut sampai terjatuh dari tandu, lalu meninggal dunia.

Halaman:

Editor: Zair Mahesa

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x