SEJARAH HARI INI, Film 'Darah dan Doa' , Film Berbiaya Rp 150.000 Jadi Tonggak Sejarah Perfilman Indonesia

- 30 Maret 2021, 07:05 WIB
Film "Darah dan Doa" jadi tonggak perfilman Indonesia yang kemudian tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional
Film "Darah dan Doa" jadi tonggak perfilman Indonesia yang kemudian tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional /Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat/

DESKJABAR – Jawa Barat boleh berbangga karena inspirasi atau tema dari kawasan inilah yang menjadi tonggak eksistensi perfilman di Indonesia sejak awal abad ini.

Pada tanggal 30 Maret 1950 ditandai dengan dimulainya proses shooting untuk film berjudul “Darah dan Doa”, film yang menceritakan perjalanan panjang para tentara Siliwangi dari Yogjakarta ke Bandung atau Long March Siliwangi.

Sejarah hari ini mengulas Film "Darah dan Doa" yang Berbiaya Rp 150.000 menjadi film lokal pertama yang sepenuhnya diproduksi oleh anak bangsa ini, yang menjadi tonggak sejarah perfilman Indonesia. Pada tanggal 30 Maret inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.

Baca Juga: Anton Charliyan: Bom Gereja Makasar dan Terbakarnya Pertamina Balongan Indramayu, Tantangan bagi Polri

Film “Darah dan Doa” adalah film karya Usmar Ismail diproduksi oleh Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini).

Sebenarnya eksistensi perfilman di Indonesia sudah ada sejak awal abad ini. Tepatnya pada 31 Desember 1926, film “Loetoeng Kasaroeng” menjadi film pertama yang diproduksi di Indonesia.

Namun, meski pemeranya adalah orang-orang lokal, namun film ini dibuat oleh sutradara asal Belanda yakni G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini mengisahkan tentang cerita legenda yang sudah akrab di masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda.

Pembuatan film “Loetoeng Kasaroeng” melibatkan aktor lokal dibawah perusahaan film JAWA NV di Bandung. Film “Loetoeng Kasaroeng” dirilis untuk masyarakat luas pada 31 Desember 1926 dan diputar pertama kalinya di teater Elite and Majestic, Bandung.

Baca Juga: Dosen ITB : Wajar Ada Kejadian Ikutan Pasca Menerima Vaksin Covid-19

Setahun kemudian, sutradara G, Kruger bersama perusahaan film JAWA NV, kembali membuat film keduanya yakni “Eulis Atjih”. Film bisu hitam putih tersebut mengisahkan kehidupan rakyat pribumi dimana seorang istri dan anaknya ditingal suami atau ayah untuk berofoya-foya hingga keluarga tersebut jatuh miskin.

Uniknya, dalam film ini sudah memakai nama “Indonesia”, padahal nama “ Indonesia” untuk wilayah Hindia Belanda tersebut, baru resmi dalam Sumpah Pemuda tahun 1928.

Film ini dirilis pertama kali pada Agustus 1927 di Bandung, dan sebulan kemudian di Surabaya. Film ini mencatat sukses dan diminati terutama oleh kalangan etnis China. Sayangnya, ketika film ini dipasarkan ke luar negeri melalui Singapura, tidak sesukses seperti di dalam negeri.

Tahun 1928, para pekerja film dari Shanghai datang ke Indonesia untuk memproduksi film "Lily van Java". Meski Loetoeng Kasaroeng dan Lily van Shanghai banyak melibatkan aktor lokal, namun kedua film pertama tersebut lebih merepresentasikan dominasi Belanda dan Cina.

Baca Juga: Destinasi Wisata Curug Taringgul Miliki Magnet Kenyamanan Bersama Alam

Demikian pula pada masa penjajahan Jepang, film yang sempat dihentikan dan diganti dengan film propaganda, tak banyak memperlihatkan film karya buatan anak bangsa.

Baru “Darah dan Doa” yang menjadi film pertama anak bangsa. Selain disutradarai Usmar Ismail, skenario ditulis oleh Sitor Situmorang.

Perjuangan Usmar Ismail untuk memproduksi film ini tidaklah mudah. Usmar harus berhadapan dengan dua masalah utamanya, yakni modal dan alat-alat produksi.

Namun, dengan bantuan Menteri Penerangan RI, Sjamsuddin dan para mantan staf Multi-Film, ia akhirnya bisa mengumpulkan modal pinjaman senilai Rp 150.000.

Kala itu biaya sebesar itu terbilang besar karena film-film lain kebanyakan bermodal Rp 100.000.

Baca Juga: Belum Ada Informasi Resmi dari Arab Saudi, Terkait Penyelenggaraan Haji Indonesia 1442 H/2021 M

Film ini mengisahkan seorang pejuang revolusi Indonesia yang jatuh cinta kepada salah seorang gadis Indo yang bertemu di tempat pengungsian.

Film ini mengisahkan perjalanan panjang (long March) prajurit divisi Siliwangi RI, yang diperintahkan kembali dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Belanda.

Film ini lebih difokuskan pada Kapten Sudarto yang dilukiskan bukan sebagai pahlawan tetapi sebagai manusia biasa. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis. Ia sering tampak seperti peragu.

Pada waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penyelidikan, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan dirinya sepanjang perjalanan.

Baca Juga: Rizal Ramli dan Roy Suryo Soroti Posisi Duduk Gibran, Sardono: Bukan Meja, Pak Basuki yang Suruh Duduk di Situ

Ia memilih tidak memenuhi panggilan untuk penyelidikan dan memilih keluar dari tentara.

Perjalanan diakhiri dengan telah berdaulat penuhnya Republik Indonesia pada 1950, dan dengan ditembaknya Sudarto oleh anggota partai komunis yang diperanginya, waktu terjadi peristiwa pemberontakan PKI Madiun (1948).

Film “Darah dan Doa” menjadi tonggak perkembangan pefilaman Indonesia, menurut data hingga saat ini jumlah film yang telah diproduksi di Indonesia mencapai 3.473 judul film.

Film terlaris produksi lokal dalam sejarah perfilman Indonesia adalah “Warkop DKI Reborn” Part 1 tahun 2016. Film tersebut ditonton sebanyak 6,7 juta orang. ***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x