Namun karena terbentur undang-undang, dr Hastry menjelaskan dirinya tidak bisa mengumumkan ke media atau ke masyarakat.
Sesuai undang-undang, lanjut Hastry, karena penyidik yang memintanya untuk melakukan otopsi kasus Subang, maka hasilnya juga harus diserahkan kepada penyidik tidak boleh ke siapapun.
"Dalam kasus Subang benda apa yang dipakai untuk membunuh korban, saya tahu tapi gak akan ngomong," ujar dr Hastry.
Dokter Hastry mengakui bahwa jika dalam satu kasus sampai terjadi dua kali otopsi, maka yang lebih banyak dipakai itu hasil otopsi yang pertama karena yang kedua hanya melengkapi.
Namun begitu, hasil otopsi kedua dalam kasus Subang bisa juga menjadi alat bukti utama di pengadilan. Dan itu tergantung jaksa penuntut umum dan pembelanya apakah cukup dari visum pertama atau butuh visum kedua.
“Dan nanti kalau kurang saya dipanggil juga untuk memberi keterangan ahli. Dan tugas kita bagaimana mempengaruhi yang mulia Pak Hakim untuk sesuai dengan visum yang kita buat”, ujar Hastry.
Pada podcast di kanal Youtube miliknya yang dipandu Anjas Asmara seorang akademisi yang sejak awal konsen mengawal kasus Subang, dr Hastry menolak jika penyelidikan kasus Subang disebut lemah.
“Bukan lemah, (tapi) jujur dan terus terang dari awal penanganan mungkin pelan atau lambat seperti itu. Dan itu kita maklumin, tapi apapun itu kita (penyidik) pingin hasilnya bener-bener ilmiah”, kata Hastry.
Pasca melakukan otopsi kedua, dr Hastry mengaku tidak diam. Setiap saat sampai sekarang terus memberikan masukan kepada pimpinan terkait kasus Subang