MENGEJUTKAN, Tanpa Disadari Aktivitas Sehari Hari Ini Penghasil Emisi Karbon yang Sama Bahaya dengan Knalpot

- 6 April 2024, 08:30 WIB
Tanpa kita sadari, banyak aktivitas sehari-hari yang ternyatapenghasil emisi karbon yang sama bahayanya dengan knalpot kendaraan.
Tanpa kita sadari, banyak aktivitas sehari-hari yang ternyatapenghasil emisi karbon yang sama bahayanya dengan knalpot kendaraan. /skoot.eco/

DESKJABAR – Selama ini kita hanya terpaku dan menyalahkan knalpot kendaraan atau transportasi sebagai penyumbang emisi karbon yang menjadikan pendorong perubahan iklim yang saat ini menjadi krisis global.

Namun sangat mengejutkan, ternyata banyak kegiatan atau aktivitas sehari hari yang tanpa kita sadari ternyata juga penghasil emisi karbon yang cukup tinggi, yang hampir sama bahayanya dengan kanlpot kendaraan. Aktivitas sehari hari ini meninggalkan jejak karbon yang juga tidak bisa diangap enteng.

Baca Juga: SIAP-SIAP Mudik Lebaran 2024 dengan Mobil Sendiri, Simak Tips Penting Menyusun Barang Bawaan di Bagasi Mobil

Jejak  karbon bisa didefinisikan sebagai jumlah total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari tindakan kita. Emisi ini, terutama karbon dioksida (CO2), merupakan salah satu faktor pendorong perubahan iklim, sebuah krisis global yang memerlukan perhatian dan tindakan segera.

Mau tahu? Ternyata jejak karbon rata-rata per orang adalah sekitar 750kg CO2 per orang, per bulan. Itu berarti dalam setahun mereka menghasilkan jejak karbon CO2 sebanyak 9 ton.

Tanpa kita sadari, aktivitas sehari hari yang kita lakukan meninggalkan jejak karbon, mulai dari minum kopi di pagi hari, sarapan, pakaian yang kita pakai, perjalanan ke tempat kerja, hingga kita pulang kembali ke rumah.

Betapa mengejutkannya, ternyata makanan paling bertangggung jawab sebagai penyumbang emisi karbon atau emisi gas rumah kaca dunia dibanding knalpot kendaraan yang selama ini kita tuduh sebagai penyumbang tertinggi.

Aktivitas Sehari-hari Penghasil Emisi Karbon Tinggi

Mengutip dari laman skoot.eco, inilah aktivitas sehari-hari yang tanpa kita sadari adalah kegiatan yang menghsilkan emisi karbon yang cukup tinggi.

Makanan

Makanan bertanggung jawab atas seperempat atau 25 persen dari emisi gas rumah kaca dunia. Makanan mempunyai dampak yang luas terhadap jejak karbon. Meskipun mungkin tidak langsung terlihat, pola makan kita sangat terkait dengan lingkungan.

Rangkai makanan mulai dari produksi, transportasi, dan pembuangan makanan, berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca, dengan produksi daging dan susu menjadi salah satu proses yang paling banyak menghasilkan karbon.

Hewan yang merumput membutuhkan lahan yang besar, yang seringkali menyebabkan deforestasi, yang menyumbang sekitar 15% emisi gas rumah kaca (GRK) global. Selain itu, sapi dan domba memiliki sistem pencernaan yang menghasilkan metana, gas rumah kaca yang sangat kuat, dengan potensi pemanasan 80 kali lipat dibandingkan karbon dioksida dalam 20 tahun pertama setelah dilepaskan ke atmosfer.

Bayangkan, rata-rata daging sapi memiliki jejak karbon sebesar  36kg  CO2 per kg, jumlah ini hampir 6 kali lipat jumlah jejak karbon ayam yang sekitar 6kg CO2 per kg daging. Demikian pula, keju memiliki jejak karbon yang tinggi yaitu 13,4kg per kg keju dan susu memiliki jejak karbon sekitar 2,4kg CO2 per liter.

Sebaliknya, pola makan nabati cenderung memiliki jejak karbon yang lebih rendah karena umumnya melibatkan lebih sedikit emisi dan praktik pertanian yang tidak menggunakan banyak sumber daya. Misalnya saja, 1kg gandum menghasilkan 2,5kg gas GRK sehingga 14 kali lebih sedikit karbon dibandingkan daging.

Meskipun demikian, dampak pangan nabati terhadap lingkungan dapat berfluktuasi, bergantung pada variabel seperti jenis tanaman dan metode budidaya. Ambil alpukat, misalnya; jejak karbon mereka lebih besar, terutama karena diperlukannya transportasi ekstensif untuk membawanya ke supermarket, berbeda dengan sayuran yang ditanam secara lokal.

Angkutan

Transportasi merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar kedua dan bertanggung jawab atas seperlim atau 20 persen  emisi CO2 global. Setiap kali menaiki kendaraan, entah itu mobil, kereta api, sepeda, atau bahkan kedua kaki kita sendiri, kita membuat pilihan yang berdampak pada lingkungan.

Jejak karbon transportasi merupakan akibat langsung dari bahan bakar yang kita gunakan, efisiensi kendaraan, dan jarak yang kita tempuh.

Dampak kendaraan pribadi terhadap emisi gas rumah kaca sangatlah luar biasa, karena satu mil perjalanan menghasilkan sekitar 300 gram CO2. Ini setara dengan rata-rata 4,6 metrik ton (1 metrik ton= 1.000kg) CO2 per tahun.

Baca Juga: MAU Saldo DANA Gratis Rp 700 Ribu dari Pemerintah? Siap-Siap Pendaftarannya Dibuka 5 April 2024

Meskipun terjadi penurunan emisi CO2 dari mobil selama dua dekade terakhir karena penggunaan kendaraan listrik dan perluasan jaringan transportasi umum, mobil penumpang terus memberikan kontribusi yang signifikan, yaitu sebesar 41% dari seluruh emisi transportasi.

Sebuah penelitian dari  Universitas Oxford pada tahun 2021  menemukan bahwa beralih ke bersepeda hanya satu kali per hari dapat mengurangi jejak karbon Anda sekitar 0,5 ton dalam setahun dan dapat mengurangi emisi terkait transportasi sebesar 67%. Pasalnya bersepeda hanya mengeluarkan 33g CO2 per mil.

Meskipun terbang bukanlah kegiatan sehari-hari dan bahkan hanya terjadi beberapa kali dalam setahun, emisi karbon dari penerbangan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap lingkungan.

Adapun jejak karbon yang dihasilkan transportasi adalah :

Kendaraan Pribadi - 300g CO2 per mil

Kereta api - 14g CO2 per mil

Bersepeda- 33 g CO2 per mil

Terbang- 101g CO2 per mil

Listrik

Konsumsi energi memainkan peran penting dalam jejak karbon kita. Hal ini mempengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca yang terkait dengan kehidupan kita sehari-hari, dan tingkatnya ternyata sangat tinggi.

Listrik dan energi merupakan sumber utama emisi karbon di rumah tangga. Sebagian besar listrik dan energi kita berasal dari bahan bakar fosil, termasuk batu bara dan gas alam, sehingga menghasilkan jejak karbon yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan energi yang berasal dari sumber terbarukan seperti tenaga surya atau angin.

Praktik konsumsi sehari-hari seperti pendinginan, pemanasan, dan penerangan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Menurut  PBB,  properti residensial menyumbang sekitar 21% emisi karbon global yang terkait dengan konsumsi energi.

Berdasarkan temuan dari IdealHome, terdapat 4,7 juta orang di Inggris yang menyalakan lampu secara tidak perlu di malam hari, sehingga menghasilkan emisi tambahan yang signifikan sebesar 8,9 juta kilogram karbon dioksida.

Bahkan tindakan streaming acara Netflix kesayangan Anda yang tampaknya tidak berbahaya hanya selama 30 menit berkontribusi terhadap pelepasan 18 gram CO2. Kehidupan di tempat tinggal merupakan salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya jejak karbon harian Anda, namun juga merupakan salah satu peluang paling sederhana untuk melakukan pengurangan.

Fesyen

Industri fesyen merupakan penyumbang emisi karbon yang signifikan karena berbagai faktor dalam rantai pasokannya, namun sebagian besar disebabkan oleh fast fashion.

Baca Juga: Jemaah Aolia Lebaran Duluan Laksanakan Shalat Iedul Fitri Jumat, Mbah Benu : Saya Sudah Telepon Gusti Allah

Menurut  Business Insider,  fast fashion menyumbang 10% emisi karbon global dan industri ini menyumbang 1,2 miliar ton CO2 ke atmosfer.

Pembuatan pakaian dan tekstil melibatkan proses yang boros energi, termasuk pewarnaan, penenunan, dan penyelesaian akhir yang membutuhkan 2.700 liter air untuk membuat satu baju katun saja, yang berarti air cukup untuk satu orang selama 2,5 tahun.

Dibutuhkan sekitar 10.000 liter air untuk menghasilkan kapas yang cukup untuk sepasang celana jeans. Serat daur ulang hanya menyumbang 8,9% dari seluruh bahan mentah pada tahun 2021, naik 8,4% dari tahun sebelumnya, namun jumlah ini masih belum mencukupi. Banyak produk pakaian diproduksi di negara-negara dengan peraturan lingkungan yang kurang ketat, sehingga menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi.

Pakaian tersebut kemudian sering berpindah jarak jauh dari fasilitas manufaktur ke toko ritel, sehingga meningkatkan jejak karbonnya. Selain itu, belanja online dan pengiriman global berkontribusi terhadap emisi terkait pengangkutan pakaian.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: skoot.eco


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah