Sumy Hastry menjelaskan, setelah dokter forensik melakukan autopsi, penyidik akan bertanya pertama kali tentang waktu kematian karena penting untuk menentukan alibi.
Setelah itu, cara kematian. Apakah ada luka kekerasan di tubuh korban karena senjata tajam atau senjata tumpul.
Selanjutnya, mekanisme kematian. Bagaimana korban meninggal dunia, apakah ada tanda-tanda perlawanan atau tidak.
Pemeriksaan terhadap jenazah dilakukan secara menyeluruh, mulai dari rambut hingga ujung kaki, juga alat kelamin, mulut, anus, hingga kuku.
Tak hanya kasus Subang, tapi juga semua kasus, kalau korbannya perempuan, menurut dr Sumy Hastry, minimal dilakukan swab dan mencari benda-benda yang menempel di tubuh jenazah.
"Takutnya ada kekerasan seksual atau ada perlawanan. Bentuk perlawanan dalam semua kasus pembunuhan, kita periksa semua, sekecil apapun, misalnya, bekas gigitan, bekas cakaran, bekas jambakan," tutur Sumy Hastry.
Terkait informasi autopsi kedua kasus Subang, Sumy Hastry mengonfirmasi kemungkinan terjadinya bias, terutama karena adanya rentang waktu jarak 1 bulan 15 hari sejak kejadian.
Namun, Sumy Hastry bersyukur karena Tuhan masih memberikan kemudahan.
"Jenazah korban masih dalam kondisi bagus. Dan saya bisa cocokkan dengan keadaan luka di tubuh korban dengan autopsi pertama," tuturnya.