APA KABAR Obligasi Daerah Jabar? Penghimpunan Dana Rp 2 Triliun tersebut Kemungkinan Batal, Ini Alasannya

15 Januari 2024, 08:01 WIB
Penerbitan obligasi daerah Jabar untuk menghimpun dana Rp 2 triliun di tahun 2024, kemungkinan batal. /bappeda.pemprovjabar.go.id/

DESKJABAR – Upaya Pemprov Jabar untuk menghimpun dana pembangunan sebesar Rp 2 Triliun melalui penerbitan Obligasi Daerah Jabar yang rencananya akan dimulai tahun 2024, tampaknya bisa batal. Hal ini muncul setelah ada penolakan dari Pj Gubernur Jabar dan DPRD Jabar.

Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur Jabar, Bey Machmudin mengatakan bahwa sejauh ini Pemprov Jabar belum membutuhkan obligasi daerah dalam membantu proses pembangunan, karena sampai saat ini masih tercover melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Baca Juga: 7 Tokoh Akan Maju di Pilgub Jabar 2024: Ada Politikus, Mantan Bupati, Pensiunan Jenderal dan Menteri

Hal yang sama dikemukakan Anggota DPRD Jawa Barat Daddy Rohanady yang menyatakan bahwa dia sepakat dengan Pj Gubernur Jabar yang ingin mengkaji ulang rencana penerbitan obligasi daerah.

Apalagi, menurut Daddy, saat ini Pemprov Jabar masih menanggung beban pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ketika pandemi Covid-19, yang mencapai Rp 3,6 triliun.

Wacana penerbitan obligasi daerah Jabar, pertama kali dikemukakan Gubernur Jabar Ridwan Kamil pada Juli 2023, setelah Pemerintah Pusat menunjuk Jawa Barat sebagai pilot project penerbitan obligasi daerah untuk membantu pembiayaan pembangunan di daerah.

Kaji Ulang Obligasi Daerah Jabar 2024

Mengutip dari kantor berita Antara, anggota DPRD Jabar, Daddy Rohanady menyatakan dukungan kepada Pj Gubernur jabar, Bey Triadi Machmudin, yang akan mengkaji ulang rencama penerbitan obligasi daerah Jabar, yang sebelumnya rencana penerbitannya akan dilakukan pada tahun 2024.

Menurut Daddy, saat ini Pemprov Jabar masih terbebani pinjaman PEN saat Covid-19 sebesar Rp3,6 triliun, sehingga tidak elok bila mereka menambah beban baru dengan alasan untuk percepatan pembangunan.

"Saya sepakat dengan Pak Pj untuk mengevaluasi rencana obligasi. Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan obligasi, karena hutang kita masih belum lunas, bagian dari (PEN) Rp3,6 triliun itu belum lunas. Itu harus dilunasi dulu, supaya beban APBD tidak terus-terusan terkuras bayar hutang. Apalagi kalau bunga sekitar delapan persen," ujar Daddy.

Alasan lainnya, menurutnya,bila Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) jadi disahkan, dipastikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jawa Barat dari sektor pajak kendaraan akan menurun yang akan kian memberatkan bila memiliki hutang.

Baca Juga: UNIK, Jelang Ramadhan 2024, Pemkot Cirebon Borong Lahan Warga untuk Tanaman Cabai

"Harus dihitung. (Kalau) Besok ada Undang-undang tentang HKPD, ada pembagian hak kekayaan. Kalau itu berlaku, diprediksi kurang lebih Jawa Barat akan kehilangan sekitar Rp1,8 triliun. Dan jika terjadi, jangan sampai bikin hutang di tengah PAD turun. Jangan sampai kita boborot teu pararuguh (bekerja sangat keras tidak berguna). Ini harus dijaga," ucapnya.

Dengan keadaan itu, menurut Daddy, Jawa Barat harus mengukur kemampuannya sebelum mengambil tindakan, walaupun tindakan itu bertujuan percepatan pembangunan.

Sebelumnya, Pj Gubernur Jabar Bey Machmudin menyatakan bahwa sejauh ini Pemprov Jabar belum membutuhkan adanya obligasi daerah dalam membantu proses pembangunan, karena sejatinya masih mampu ter-cover melalui APBD.

Terlebih, bunga yang menjadi beban pinjaman dari penerbitan obligasi daerah tidak kecil, sehingga dikhawatirkan akan memberatkan APBD di kemudian hari.

"Tingkat rate delapan persen cukup tinggi. Apakah perlu seperti itu? Jadi kami juga ingin berdiskusi dengan pihak yang memiliki pemahaman tentang obligasi itu. Apakah sudah saatnya? Dan jumlahnya bagaimana? Saya lebih baik pelajari dulu, termasuk dampak kepada masyarakat seperti apa?," ucapnya.

"Provinsi Jawa Barat juga termasuk mampu untuk mengeluarkan obligasi, tapi saya sebagai kepala daerah masih minta dikaji. Apakah perlu atau enggak, karena apakah sudah perlu dan cocok? Karena jangan sampai ada masalah di kemudian hari," ujarnya.

Sejauh ini Bey mengatakan apabila penerbitan obligasi daerah diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur penunjang BIJB Kertajati dan rumah sakit, sejatinya mampu ditindaklanjuti secara bertahap melalui APBD maupun bantuan dari APBN.

Kecuali untuk produktivitas, kata dia, baru memungkinkan melalui obligasi daerah karena sumber pembayarannya jelas, tidak harus dianggarkan melalui APBD.

Baca Juga: Kapan Debat Capres Cawapres Pemilu 2024 Berikutnya? Tinggal 2 Sesi Lagi, Ini Jadwalnya

"Ada prioritas atau misalnya obligasi digunakan untuk bangun LRT. Itu produktif tidak apa-apa. Tapi kalau seandainya rumah sakit, apapun. Karena pendidikan dan kesehatan harusnya cukup dipenuhi dari APBD atau APBN. Kami masih jauh, jadi kami ingin dipelajari dulu dengan seksama termasuk dampaknya. Nanti di APBD ada beban, walaupun mendapatkan dana," ujarnya.

Himpun Dana Rp 2 Triliun

Pada Juli 2023, Gubernur Jabar ketika itu yakni Ridwan Kamil mengemukakan bahwa Jawa Barat ditunjuk pemerintah pusat menjadi proyek percontohan atau pilot project penerbitan obligasi daerah. Surat utang daerah rencananya bakal dirilis pada 2024 dan mengincar dana segar Rp2 triliun.

Menurut Ridwan Kamil, sebagai sebagai langkah terdekat, dana segar yang dibidik dengan skema obligasi daerah tersebut Rp2 triliun, tetapi detailnya masih dibahas.

"Rp 2 triliun saja. Itu sudah paling keren. Menggolkan instrumen keuangan namanya obligasi daerah, surat utang," imbuh Emil.

Baca Juga: Para Jenderal Asal Sumedang Berkumpul, Mulang ka Lemah Cai Siap Berkontribusi Majukan Kota Tahu 

Ridwan Kamil mengungkapkan, ada dua proyek infrastruktur yang tengah dijajaki untuk dibiayai obligasi daerah, yakni akses ke Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati dan rumah sakit-rumah sakit untuk anggaran di 2024.

"Step awalnya sudah, tinggal ketok palu antara Pemprov dengan DPRD. Untuk ketok palu, sepakat bersama, semua orang harus paham dulu bahwa membangun itu tidak bisa 100 persen mengandalkan pendapatan yang rutin seadanya," ia menjelaskan.

Menurutnya, inovasi pendanaan dengan obligasi daerah memang dibutuhkan oleh Jawa Barat. Berdasarkan hitungan, Jawa Barat membutuhkan Rp800 triliun untuk membangun seluruh infrastruktur yang dibutuhkan.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler