DESKJABAR - Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia Renny Nurhasanah mengatakan Program bantuan sosial dari pemerintah juga terancam dengan konsumsi rokok yang tinggi.
Padahal, pemerintah sudah menghimbau penerima bantuan sosial untuk tidak membelanjakan bantuan yang diterima untuk membeli rokok.
"Keluarga penerima bantuan sosial yang perokok memiliki konsumsi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat yang jauh lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial yang tidak merokok," katanya, dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta secara virtual di Jakarta, dikutip DeskJabar dari Antara, Senin, 25 Januari 2021.
Baca Juga: Peneliti UI : Berlebihan Merokok Bisa Miskin dan Sebabkan Anak Menjadi Kerdil
Ia mengutip Survei Badan Pusat Statistik juga selalu menempatkan belanja rokok pada posisi kedua setelah beras, dan menjadi salah satu pengeluaran terbesar pada rumah tangga termiskin.
Sementara itu, pengamat ekonomi senior Faisal Basri mengatakan kenaikan cukai rokok yang signifikan akan membuat harga menjadi lebih mahal dan dapat menurunkan konsumsi rokok.
"Cukai sebagai instrumen utama yang langsung mempengaruhi industri rokok, terutama terhadap harga. Memang tidak terlalu elastis, tetapi kalau naik signifikan akan dapat menurunkan konsumsi rokok," kata Faisal dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta secara daring, Senin.
Baca Juga: Teheran Berkilah Penahanan Kapal Tangker Iran oleh Bakamla Indonesia karena Kesalahan Teknis
Harga rokok
Faisal mengatakan pemerintah memang telah menaikkan cukai rokok. Namun, industri rokok mampu menahan agar kenaikan tersebut tidak sepenuhnya dibebankan kepada konsumen.
Akibatnya harga rokok di tingkat ritel tidak naik proporsional sehingga kenaikan cukai yang telah dilakukan tidak berdampak pada konsumsi rokok secara signifikan.
"Di desa, banyak iklan rokok berupa spanduk-spanduk yang mengiklankan harga tidak sampai Rp 10.000 per bungkus. Mereka melakukan penetrasi sampai ke desa-desa. Tidak tahu itu iklannya bayar atau tidak," tuturnya.
Baca Juga: Akibat Sering Memalak, Dua Anggota Ormas Dikeroyok, Namun Pengeroyoknya Ditangkap Polisi
Faisal mengatakan konsumsi rokok sulit diturunkan karena industri rokok masih menjadi salah satu andalan untuk penerimaan keuangan negara melalui pajak dan cukai.
Pada 2020, realisasi penerimaan cukai tembakau mencapai 103,21 persen yang berarti melampaui target penerimaan cukai yang ditetapkan pemerintah.
"Padahal, industri pengolahan tembakau sepanjang Januari 2020 hingga September 2020 mengalami kontraksi 4,06 persen," katanya.
Baca Juga: Pemkab Garut Tambah Fasilitas Perawatan Pasien Covid-19 Senilai Rp 6 Miliar
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan tujuan pengenaan cukai pada suatu barang dan jasa berbeda dengan pengenaan pajak.
"Tujuan utama cukai adalah pengendalian konsumsi, dengan efek penerimaan negara. Bila penerimaan dari cukai tinggi, apakah bisa diartikan sebagai hal yang baik? Penerimaan tinggi berarti konsumsinya tinggi. Padahal tujuannya adalah mengendalikan konsumsi," katanya. ***