Peneliti UI : Berlebihan Merokok Bisa Miskin dan Sebabkan Anak Menjadi Kerdil

- 25 Januari 2021, 20:19 WIB
/Antara

DESKJABAR - Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia Renny Nurhasanah mengatakan konsumsi rokok yang tidak terkendali, dapat berdampak terhadap kemiskinan hingga kekerdilan pada anak.

"Akibat dari harga rokok yang masih terjangkau adalah peningkatan perokok anak, anak 'stunting' (kekerdilan), kemiskinan, hingga mengganggu program bantuan sosial pemerintah," katanya dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta secara virtual di Jakarta, Senin.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok anak mencapai 9,1 persen, jauh dari sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 yang dapat diturunkan menjadi 5,4 persen.

Prevalensi perokok anak, kata dia, terus meningkat.

Baca Juga: Akibat Sering Memalak, Dua Anggota Ormas Dikeroyok, Namun Pengeroyoknya Ditangkap Polisi

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok anak 7,2 persen, sedangkan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 mencatat 8,8 persen.

"Rokok juga menjadi salah satu faktor risiko kesakitan, kematian, dan disabilitas. Kejadian anak 'stunting' 5,5 persen lebih tinggi pada anak dengan orang tua yang merokok," tuturnya, dikutip DeskJabar dari Antara.

 

Ia menyebut rokok juga berdampak pada kemiskinan. Prevalensi perokok pada penduduk termiskin lebih tinggi daripada pada penduduk terkaya.

Baca Juga: Pemkab Garut Tambah Fasilitas Perawatan Pasien Covid-19 Senilai Rp 6 Miliar  

Mencari solusi

Sementara itu, Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti dalam risetnya menyatakan bahwa pemahaman masyarakat terhadap produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) seperti rokok elektrik, masih relatif terbatas.

"Masih banyak masyarakat Indonesia menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah pernapasan dan kecanduan. Faktanya, rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah daripada rokok. Ini menunjukkan keterbatasan pemahaman mengenai profil risiko HPTL,” kata Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah dalam keterangan di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2021.

Trubus menuturkan dalam riset bertajuk 'Persepsi Konsumen di Indonesia terhadap Penggunaan Rokok Elektrik" tersebut, sebanyak 73 persen responden Indonesia yakin bahwa bahaya merokok adalah karena nikotin.

Baca Juga: Di Kota Bandung, Baru Dua Santunan Kematian Covid-19 yang Sudah Cair Dari 70 Usulan Dinsosnangkis

"Namun, pada faktanya, proses pembakaran rokok dan TAR lah yang mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan kanker. Ini yang fakta sama persepsinya berbeda," ujar Trubus.

Dia menjelaskan risiko kesehatan yang ditimbulkan produk HPTL, seperti rokok elektrik, 90 persen lebih rendah dibandingkan rokok karena terdapat perbedaan pada proses penggunaannya karena produk ini tidak melalui proses pembakaran.

Dengan demikian, produk HPTL dapat menjadi opsi realistis untuk mengurangi risiko kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Namun, 47 persen responden Indonesia masih menghubungkan penggunaan rokok elektrik dengan masalah pernafasan.

Menurut Trubus, edukasi dan promosi mengenai HPTL sebagai produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko perlu ditingkatkan.

Trubus juga menilai bahwa regulasi khusus juga diperlukan. Regulasi tersebut dibutuhkan lantaran produk HPTL ilegal yang beredar saat ini cukup tinggi. ***

Halaman:

Editor: Kodar Solihat

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah