Angka Pengajuan Dispensasi Nikah Usia Anak di Indonesia 55 Ribu, di Kota Bandung Ada 143 Kasus, Ini Sebabnya

29 Januari 2023, 18:26 WIB
Angka pengajuan pernikahan usia anak di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Di Kota Bandung terdapat terdapat 143 pengajuan. /Kementerian PPPA/

DESKJABAR - Angka perkawinan anak di Indonesia tergolong tinggi. Bahkan tahun 2022, pengajuan dispensasi nikah usia anak mencapai 55 ribu. Di Kota Bandung, data menunjukkan 143 pengajuan.

Yang memprihatinkan pengajuan dispensasi nikah usia anak itu dipicu oleh kehamilan di luar nikah!

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tentang perkawinan anak, juga sejalan dengan data Kota Bandung yang disampaikan oleh Walikota Bandung Yana Mulyana belum lama ini.

“Saya belum dapat informasi angka pastinya. Sebaiknya itu ditanyakan ke Kementerian Agama," kata Yana, Kamis 19 Januari 2023.

Namun data Pengadilan Agama (PA) Kota Bandung menunjukkan, sebanyak 143 warga Bandung mengajukan dispensasi nikah usia anak, dan mayoritas karena hamil di luar nikah.

Baca Juga: Kini Pelaku UMKM Kota Bandung Mudah Dapatkan Sertifikat Halal dan NIB Gratis di Weekend Market

Yana meminta Dinas Pendidikan (Disdik) untuk melakukan sosialisasi kepada para orang tua dan sekolah mengenai pernikahan dini atau seks di luar nikah. Seks di luar nikah menyalahi norma, etika, juga agama.

Angka pengajuan dispensasi nikah usia anak di Indonesia

Kasus pengajuan dispensasi nikah usia anak di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Data pengadilan agama terkait permohonan dispensasi nikah usia anak, tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu.

Berdasarkan laman Kementerian PPPA, pengajuan permohonan menikah pada usia anak umumnya disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu. Selain itu faktor dorongan dari orangtua yang menginginkan anak mereka segera menikah karena sudah memiliki teman dekat/pacaran.

Karena kondisi ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bekerja sama dengan PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) Universitas Indonesia, Ikatan PIMTI Perempuan Indonesia, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyusun Risalah Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak. Kajian ini dibahas dalam Seminar Nasional di kantor KemenPPPA, Kamis 26 Januari 2023.

Baca Juga: Forum Dengar Pendapat Pedagang Taman Heulang Bogor dan Camat Tanah Sareal Sahib Khan, Ini Kata Warga Sekitar

Ancaman untuk pemenuhan hak dasar anak

“Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak," kata Titi Eko Rahayu, Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA.

Bukan hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, pernikahan di usia anak juga bisa memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah, hingga ancaman kanker serviks atau kanker rahim pada anak.

Amandemen terhadap Undang-Undang Perkawinan di tahun 2019 yang mencantumkan usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun merupakan upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat.

Faktanya, pengajuan perkawinan dini masih terus terjadi. Padahal anak-anak ini merupakan harapan masa depan untuk membangun Indonesia.

"Ini tanggung jawab bersama karena isu perkawinan anak rumit dan sifatnya multisektoral,” ungkapnya.

Baca Juga: YUK Mengetahui Perkembangan Terkini Kereta Cepat Bandung Jakarta, yang Sempat Memakan Korban 2 Orang Meninggal

Sementara itu, Andrea Andjaringtyas dari PUSKAPA-UI menjelaskan pihaknya melakukan kajian untuk mengurai masalah adanya dispensasi perkawinan dan dikabulkannya dispensasi kawin karena faktor anaknya sudah hamil terlebih dahulu. Dari 225 putusan, lanjutnya, sebanyak 34% dikarenakan faktor kehamilan.

Empat faktor pendorong pernikahan dini

Andrea menyebutkan, ada 4 masalah yang melatarbelakangi kehamilan anak yang akhirnya mendorong perkawinan dini.

1. Kesulitan hidup di keluarga rentan dan tidak memiliki kapasitas pengasuhan yang baik.
2. Anak tidak mendapat dukungan positif dari keluarga, komunitas dan kelompok sebaya.
3. Anak tidak memiliki kemampuan untuk menimbang risiko kehamilan.
4. Anak memandang perkawinan sebagai cara untuk menikmati masa remaja.

Atas kondisi itu, PUSKAPA-UI meminta pemerintah mengambil upaya pencegahan. Salah satunya meningkatkan kapasitas pengasuhan dan akses layanan. Juga mengembangkan kemampuan anak, memperkuat ikatan sosial keluarga, menyusun kebijakan kesehatan fisik (termasuk reproduksi) dan mental, dukungan pengasuhan, serta pencapaian pendidikan formal 12 tahun dan pemberdayaan untuk penghidupan.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Kemen PPPA bandung.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler