“Saya mah tidak membeli minyak goreng disitu, tetapi di Pasar Leles karena kebetulan ada belanja lain," katanya.
Tapi ternyata ketika pulang ke rumah, dan mendengar kabar dari ibu-ibu, kalau diperbandingkan, harga minyak goreng dipasar yang saya beli dengan yang disediakan di desa lebih murah.
"Belum kalau dihitung ongkos ke Pasar leles satu kali jalan Rp. 15.000 (lima belas ribu), jadi kalau pulang pergi ya habis Rp. 30.000 (tiga puluh ribu). Di Desa kan Rp. 300.000 per karton dengan isi 12 botol, kalau dipasar hanya dapat 11 botol”, kata Elis.
Menurutnya, Pemerintah Desa Karangsari justru sudah baik dengan membuka peluang bagi siapapun yang akan melakukan usaha.
Karena dengan memberikan fasilitas kemudahan kepada warga dengan memfasilitasi pedagang yang hendak berjualan dan warga penerima bantuan tidak harus repot-repot belanja keluar, yang tentu akan memakan ongkos transfortasi.
Selain Elis, Dadang (45) Warga RW. 01 Desa Karangsari Kecamatan Leuwigoong mengakui bahwa sebelumnya pernah menyampaikan statment adanya dugaan pemaksaan harus belanja disitu (Desa Karangsari), karena dulu saya belum begitu tahu secara menyeluruh.
“Benar, dulu sempat menyampaikan seperti dipaksa dalam pembagian BLT untuk minyak goreng, tetapi setelah saya menanyakan kebeberapa orang yang menerima BLT minyak goreng, ternyata banyak juga yang beli diluar, tidak diharuskan membeli minyak goreng yang ada di desa milik salah satu agen,” jelas Dadang.
Dadang juga menceritakan, setelah datang ke Desa Karangsari, menerima uang bantuan itu dari petugas Pos, dan setelah mau keluar banyak tumpukan minyak yang ternyata milik salah satu agen, namun memang waktu itu petugas agennya didalam desa, dan waktu itu saya menyerahkan uang ke petugas sebesar Rp. 300.000 untuk satu karton/dus minyak goreng, jelas Dadang.
“Jadi waktu itu saya sempat panas, karena cuaca juga panas sehingga mengasumsikan dipaksa belanja ternyata tidak, dan saya pun memang menyerahkan uang untuk membeli minyak goreng, bukan diminta,” jelasnya.***