Karena rencananya mau mendaki Manglayang melalui jalur resmi, otomatis tidak banyak yang kami siapkan. Peralatan masak, pisau untuk kegiatan di hutan ataupun alat lainnya.
Baju, celana dan sepatu kami sudah tidak keruan bentuknya akibat harus tiarap, merayap, terjatuh dan bergulingan di jalanan yang lebih menyerupai jurang curam.
Kami merasa bahwa kami sudah hilang orientasi track yang sebenarnya. Ada jalur kecil sepertinya aliran air yang menjadi patokan bahwa ada jalanan di atas sana. Melalu petunjuk aliran air ini kami terus ngesot sambil merangkak menuju jalan ke puncak.
Batang pepohonan yang besarnya sebesar gagang sapu menghadang, membuat kami harus extra keras mematahkan setiap rintangan yang menghalang. Hingga kami menemukan jalur buntu menurut kami.
Tak ada lagi jalan kecuali ada bekas aliran sungai yang terhalang rimbunnya pepohonan berakar. Berbekal semangat ingin cepat sampai puncak, akar pohon tadi kami babat semampu kami dengan tangan kosong, hingga tangan kiri dan kanan kami terluka akibat memegang akar yang berduri.
Semua ini tak kami rasakan hingga salah seorang dari kami menangis karena frustasi. Tidak berlebihan, kami sudah berjalan lebih dari empat jam dengan tak ada jaminan kami akan sampai atau tidak.
“Saya menyerah, kalau ada petugas saya minta dievakuasi,” katanya sambil menangis.
Semangat dan yakin bahwa kami akan sampai di puncak itulah yang membuat perjalanan ini tak kami hiraukan, batu yang kami temui semakin banyak, sekitarnya kami melihat suasana agak serem karena memang jalanan ini tidak atau jarang dilintasi manusia, bisik batin kami.