Pada awal tahun 1800-an, Pemerintah Hindia Belanda menyetujui usulan Dr.Ir.R van Hoeven untuk membangun kota Bandung, dan memindahkan pusat ibu kota dari Dayeuhkolot ke Kota Bandung.
Pada kurun waktu 1860 hingga 1930 terjadi pembangunan dan pembenahan besar-besaran kota Bandung sebagai persiapan sebagai ibu kota Hindia Belanda.
Baca Juga: Bharada E akan Bertemu Ferdy Sambo pada Proses Rekonstruksi Besok di Duren Tiga, Jakarta Selatan
Mengetahui Belanda tengah gencar melakuan pembangunan kota Bandung, seorang saudagar setempat yang dikenal di kota Bandung sebagai saudagar batikan, Haji Mas Aksan, memanfaatkannya sebagai peluang.
Kemudian lahan sawah miliknya seluas sekitar 4 hektare diubah menjadi tempat pembuatan bata merah, untuk menyuplai kebutuhan bata merah untuk pembangunan gedung dan bangunan di kota Bandung.
Untuk kebutuhan air pembuatan bata merah, kemudian pemerintah Belanda mengizinkan membelokkan aliran Sungai Leuwilimus sepanjang 600 meter ke lahan milik Haji Mas Aksan.
Pada perkembangan selanjutnya, kawasan bekas galian lio bata merah tersebut berubah menjadi sebuah danau atau situ, yang kemudian dinamakan Situ Aksan.
Sayangnya, Situ Aksan yang pernah menjadi tempat wisata favorit warga Bandung di era tahun 1950, 1960, dan 1970-an itu, kini tinggal kenangan.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan penduduk dan pembangunan Kota Bandung, kawasan di sekitar Jalan Pagarsih dan Jalan Suryani telah berubah menjadi kawasan padat penduduk.