Saking masyhurnya nama Ki Ageng Selo di telinga keturunan Jawa, hingga hari ini apabila ada petir yang akan menyambar, mereka berteriak, “Gandrik! Aku Putune Ki Ageng Selo” (“Gandrik, aku cucu Ki Ageng Selo”).
Cerita ini melegenda di tanah Demak sampai sekarang, bahkan seorang warga Demak mengatakan "Di Demak itu tidak ada suara petir yang menyambar nyambar seperti daerah lain, karena disini petir takut ditangkap oleh keturunan Ki Ageng Selo"
Untuk mengenang kejadian itu, dibuat gambar kilat pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid.
Di sana terdapat pintu yang dikenal dengan nama Lawang Bledheg (pintu petir) bertuliskan Candra Sengkala yang berbunyi "Nogo Mulat Saliro Wani". Pintu itu masih bisa dilihat hingga sekarang.
Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16.
Ki Ageng Selo merupakan cucu Raja Majapahit terakhir. Dia juga adalah moyang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Sebagai salah satu murid Sunan Kalijaga, satu dari walisanga penyebar agama Islam di tanah Jawa Ki Ageng Selo tentu saja mempunyai ilmu kanuragan yang sakti mandraguna
Dia lahir sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak.
Ketika ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya untuk menghindari semburan darah dari kepala banteng yang dipukulnya.