HARI KARTINI: Mengenang dan Meneladani Perjuangan Emansipasi RA Kartini, Inilah Perjalanan Singkatnya

- 21 April 2021, 11:07 WIB
Susi Pudjiastuti, sosok wanita dari daerah pesisir pantai Selatan Jawa Barat, yang berhasil menjadi menteri di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Boleh dibilang, inilah hasil perjuangan RA Kartini dalam upaya menyetarakan kaum wanita Indonesia denga pria.
Susi Pudjiastuti, sosok wanita dari daerah pesisir pantai Selatan Jawa Barat, yang berhasil menjadi menteri di era kepemimpinan Presiden Jokowi. Boleh dibilang, inilah hasil perjuangan RA Kartini dalam upaya menyetarakan kaum wanita Indonesia denga pria. /DeskJabar/Twitter @susipudjiastuti/

DESKJABAR – Sepertinya segenap bangsa Indonesia tidak ada yang tidak tahu siap itu Raden Ajeng Kartini atau dikenal sebagai RA Kartini. Setiap tahun, hari kelahirannya pada tanggal  21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini.

Begitu juga RA Kartini sebagai tokoh pahlawan nasional,  yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita dan dikenal sebagai wanita  pertama di tanah air yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia, semua sudah pada tahu.

Namun siapa sebenarnya RA Kartini, siapa slsilah keluarganya, dimana ia dilahirkan dan bagaimana perjalanan hidupnya,  masih atau makin sedikit orang –khususnya generasi milenial—yang belum mengetahuinya.

Baca Juga: Presiden Joko Widodo Melihat Panen Padi di Indramayu, Sebelum Meninjau Kawasan Industri di Batang, Jawa Tengah

Dari berbagai sumber yang dihimpun DeskJabar, salahstunya dari kemdikbud.go.id,   RA Kartini memiliki nama lengkap Raden Adjeng Kartini Djojo Adhiningrat. Ia lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ia dilahirkan di tengah keluarga bangsawan dari seorang ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, yang menjabat sebagai Bupati Jepara.

Berbeda dengan silsilah keluarga Kartini dari garis keturunan ayahnya merupakan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan jika ditelusuri ke atas merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit, ibunya yang bernama M.A. Ngasirah, bukan berasal dari keturunan bangsawan melainkan hanya rakyat biasa, anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Jepara.

Pada mulanya, ayah Kartini adalah seorang Wedana (sekarang Pembantu Bupati) di Mayong. Pada masa itu ada peraturan kolonial Belanda yang mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura.

Setelah pernikahan tersebut, ayah RA Kartini kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara tepat setelah RA Kartini dilahirkan. Kakek dari RA Kartini adalah bupati pertama yang sudah memberikan pendidikan Barat kepada anak anaknya.

Baca Juga: Pasien Covid-19 Disarankan Rehat Dulu Berolahraga, Ini Penjelasan Dokter

RA Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara, baik kandung maupun tiri. RA Kartini sendiri merupakan putri tertua di antara saudara sekandungnya. Kemudian RA Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Di masa sekolah inilah beliau belajar Bahasa Belanda. Dan di masa sekolah saat berusia 15 tahun itu pulalah, RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit.

RA Kartini yang mulai mahir bahasa Belanda, kemudian belajar menulis surat pada teman-teman dari Belanda. Salah satunya Rosa Abendanon, yang sangat mendukung RA Kartini. Dimulai belajar surat menyurat inilah RA Kartini tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Ia mempelajari mengenai hal tersebut melalui surat kabar, majalah hingga buku-buku.

RA Kartini juga mulai memperhatikan masalah emansipasi wanita dengan membandingkan para wanita Eropa dengan wanita Indonesia.  Baginya seorang wanita harus mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan hukum.

Pada 12 November 1903 tepatnya ketika RA Kartini berusia 24 tahun, ia diminta menikah dengan Bupati Rembang saat itu, yaitu K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang telah memiliki tiga orang istri.

Suami dari RA Kartini sangat memberi pengertian tentang keinginan RA Kartini. Bahkan beliau membebaskan dan mendukung RA Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang perkantoran Rembang (sekarang  gedung pramuka).

Baca Juga: Penyanyi Raisa Andriana Membagikan Cara Mengatasi Rasa Burn Out

Dari pernikahannya dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, RA Kartini dikaruniai seorang putra bernama RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Sangat disayangkan, empat hari setelah RA Kartini melahirkan, tepatnya pada usia 25 tahun, RA Kartini meninggal dunia dan beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.

Putra RA Kartini, Soesalit Djojoadhiningrat sendiri sempat menjabat sebagai Mayor Jenderal pada masa kependudukan Jepang. Dirinya memiliki anak bernama RM. Boedi Setiyo Soesalit yang merupakan cucu RA Kartini Lalu RM Boedi Setiyo Soesalit menikah dengan wanita bernama Ray Sri Biatini Boedi Setio Soesalit.

Kemudian, dari hasil pernikahannya itu dikaruniai lima orang anak bernama yang merupakan cicit RA Kartini. Masing-masingnya bernama RA Kartini Setiawati Soesalit, RM Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM Rahmat Harjanto Soesalit.

Tepat pada tahun 1912, Yayasan Kartini di Semarang mendirikan sekolah wanita yang diberi nama Sekolah Kartini. Sekolah tersebut didirikan oleh keluarga Van Deventer yang merupakan tokoh Politik Etis kala itu. Pembangunan sekolah tersebut kemudian berlanjut di Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan berbagai daerah lainnya.

Baca Juga: Bill Gates dan 40 Pemimpin Dunia akan Hadiri KTT Iklim Minggu ini

Wafatnya RA Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA Kartini semasa hidupnya. Abendanon, temannya yang di Belanda yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa.

Abendon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya, diterbitkan pada 1911. Namun sayangnya, pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya itu tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda.

Baru pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon dengan bahasa Melayu yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran. Setelah itu, pada 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pemikiran Kartini banyak mengubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R. Soepratman yang kemudian membuat lagu yang berjudul Ibu Kita Kartini.

Presiden Soekarno kala itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Selain itu, Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang.***

 

Editor: Zair Mahesa

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x