Sayangnya hingga hari ini Rabu 19 Januari 2022 --setelah hampir 3 minggu-- sketsa itu belum membuahkan hasil. Terduga pelaku pembunuh ibu dan anak beum juga terungkap.
Menurut Anton Charliyan, sketsa ternyata bukan merupakan salah satu alat bukti yang kuat. Sketsa (seprti halnya dalam kasus pembunuh ibu dan anak di Subang) bila dipandang dari sudut alat bukti yang sah hanya merupakan salah satu petunjuk saja.
“Bahkan gambar sketsa jika tidak didukung dengan scientifik crime investigation (penyelidikan berbasis ilmiah) yang akurat, malah bisa saja mengaburkan proses penentuan tersangka (pembunuh ibu dan anak di Subang) yang sedang diolah”, kata Anton Charliyan.
Selain itu ungkap Anton Charliyan, orang yang ada di sekitar TKP saat terjadinya peristiwa (pembunuh ibu dan anak di Subang), juga belum tentu sebagai tersangka. Bisa sebagai saksi, bisa juga orang selewat yang tidak tahu apa-apa.
“Harus dikuatkan juga dengan alibi waktu, tentang keberadaan seseorang di TKP atau di sekitar TKP”, kata Anton Charliyan.
Jika ingin menggali alat bukti yang kuat (dalam hal ini kasus Subang), jelas Anton Charliyan harus diteliti dari physical evidence atau bukti fisik yang didapatkan dari benda-benda mati seperti sidik jari, darah, telapak kaki , CC TV, bekas puntung rokok, sandal, sepatu, tusuk gigi, dll.
“Physical evidence atau bukti fisik itu selanjutnya harus diolah dan disempurnakan menjadi Scientific Crime Investigation ", kata Anton Charliyan.
Dalam setiap tindak pidana --termasuk kasus Subang-- Anton Charliyan yang juga mantan Kadiv Humas Mabes Polri menegaskan saksi-saksi manusia, walaupun sangat penting, namun tidak bisa diharapkan sebagai bukti utama. Karena apa?
“Karena manusia sebagai bukti hidup, bisa saja setiap saat berubah. Jadi fokuskan saja pada bukti-bukti yang bersifat phisical evidence yang didukung secara science”, kata Anton Charliyan.