Hukum Berat Perwira TNI Pelaku Tabrak Lari Dua Sejoli di Nagreg, Ini Tiga Alasannya Menurut Pengamat Millter

- 2 Januari 2022, 14:54 WIB
Oknum Kolonel Penabrak dan Pembuang Mayat Dua Sejoli di Nagreg Adalah Kolonel P harus dihukum berat
Oknum Kolonel Penabrak dan Pembuang Mayat Dua Sejoli di Nagreg Adalah Kolonel P harus dihukum berat /Jurnal Garut/Muhammad Nur/

 

 

 

DESKJABAR - Oknum TNI pelaku  tabrak lari Nagreg yang menewaskan Handi Saputra (16) dan Salsabila (14) di depan SPBU Ciaro Garut 8 Desember 2021 lalu, harus dihukum seberat-beratnya. Khususnya Kolonel P yang diketahui sebagai inisiator untuk membuang jenazah dua sejoli itu ke sungai Serayu –Cilacap.

Hal itu diungkapkan oleh Pengamat Militer dari Universitas Padjadjaran, Prof.Muradi ketika dihubungi Deskjabar, Minggu 2 Januari 2022.

“Salah satu yang menjadi pemberat Kolonel P dalam kecelakaan Nagreg ini adalah, karena dia merupakan perwira, tingkat kolonel dan menjadi inisiator. Berbicara psikologis militer, posisi kolonel harusnya tidak boleh panik atau ragu-ragu dalam dalam mengambil keputusan. Apalagi dalam kasus Nagreg ini, yang jelas-jelas melanggar hukum bukan hanya 1 tapi 3 kejahatan sekaligus,” ujar Muradi.

Baca Juga: BUKAN SKETSA, Tapi Ini yang Seharusnya Dirilis Polda Jabar dalam Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang

Lebih  lanjut Muradi menjelaskan, tiga pelanggaran hukum yang dilakukan para oknum TNI tersebut yaitu pertama, menabrak orang hingga meninggal itu melanggar UU Lalu Lintas. Kedua, tidak bertanggung jawab dengan membuang jenazah. Ketiga, membunuh satu korban yang masih hidup, sebelum akhirnya  dua sejoli itu dibuang ke sungai Serayu.

“Hukumannya bisa 20 tahun lebih atau hukuman mati kalau memang perbuatannya terbukti karena dia aparat keamanan kan. Kalau misalnya pelakunya di dalam mobil itu semua bintara, saya masih maklum karena psikologisnya belum kuat," katanya.

"Tapi ada kolonel dan angkatannya juga tidak lagi muda atau senior, ya saya kira tidak ada pilihan lain selain pemberatan hukuman supaya ada efek jera sehingga lebih humanis,” tutur Muradi lagi.

Baca Juga: KABAR PERSIB TERKINI, Tanpa Pemain Utama Victor Igbonefo dan Ezra Walian Persib Tetap Haus Kemenangan

Ketiga oknum TNI dalam kecelakaan Nagreg yang menewaskan dua sejoli itu adalah Kolonel Infanteri P  yang bertugas di Korem Gorontalo, Kodam Merdeka, Kopral Dua DA (Kodim Gunung Kidul, Kodam Diponegoro) dan Kopral Dua Ahmad (Kodim Demak, Kodam Diponegoro). Pada saat terjadi kecelakaan mereka menggunakan mobil Isuzu Panther hitam dengan plat nomor B-300-Q yang dikemudikan Koptu DA.

Sebelumnya Panglima Jenderal TNI Andhika Perkasa menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap ketiga oknum TNI pada kecelakaan Nagreg tersebut.  Andhika menyebutkan, Kolonel P bertindak sebagai inisiator pada peristiwa tersebut, termasuk pada pasal pembunuhan berencana.

“Ini sangat aneh ya, padahal yang nabrak kan bukan dia, tapi supirnya yang berpangkat kopral. Kita berbicara psikologis internal tentara ya, katakanlah kopral yang supirnya itu terbukti bersalah, kemudian ditahan karena memang dia yang bawa mobil," ucapnya.

Baca Juga: Misteri Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang Berlanjut Hingga ke Awal 2022, Sketsa Terduga Jadi Perbincangan

"Kolonel ini kan tinggal menemui keluarga korban yang ditabrak dan keluarga si kopral ini. Tunjukkan rasa bertanggung jawab sebagai atasan dan permintaan maaf ke keluarga korban. Kalau seperti itu, saya rasa sudah selesai. Tetap akan ada hukuman, tapi tidak akan berat,” kata Muradi lagi.

Namun yang terjadi, lanjut dia, lebih pada kondisi psikologis Kolonel P sendiri. Tampak ada kekhawatiran dari perwira ini kalau dia tidak ingin keberadaannya di Garut diketahui orang lain.

“Artinya dia memang sedang melakukan pekerjaan atau aktifitas di luar territorial dia yang apapun alasannya tidak bisa dibenarkan. Hal ini sepertinya yang membuat dia mengambil tindakan yang hukumannya jauh lebih berat,” ucap Muradi lagi.

Jika terbukti  kecelakaan Nagreg itu dilakukan saat mereka tidak bertugas, Muradi berharap kasus yang menewaskan dua sejoli Handi dan Salsabila itu diproses ke pengadilan sipil.

“Kalaupun tidak sampai ke pengadilan sipil, minimal pengadilan kolektivitas.  Apalagi sekarang sudah ada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer. Itu jauh lebih mudah untuk memproses pengadilan kolektivitas tadi. Jadi mix antara pengadilan sipil dengan pengadilan militer,” tutur Muradi. ***

.

Editor: Ferry Indra Permana

Sumber: Wawancara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x