HW Oknum Rudakpaksa Dijerat Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016

- 12 Desember 2021, 12:55 WIB
Herry Wirawan guru biadab predator seks Herry Wirawan menggemparkan publik tanah air
Herry Wirawan guru biadab predator seks Herry Wirawan menggemparkan publik tanah air /Pikiran Rakyat/

DESKJABAR - Kasus rudapaksa yang melibatkan sosok seorang pendidik sekaligus pemilik pesantren, oknum HW di Cibiru Kota Bandung masih dan akan terus bergulir hujatan-hujatan netizen hingga sorotan para tokoh.

Tidak berhenti di situ, sejumlah analisi publik pun ikut nimbrung memberikan hasil penilaiannya terkait kasus rudapaksa itu. Sebut saja Anjas di Tahiland, melalui kanal YouTube-nya sang analis yang fasih berbahasa Indonesia memberikan analisisnya.

Ini merupakan suatu bukti kasus rudapaksa Cibiru Kota Bandung, merupakan sebuah peristiwa diluar dugaan. Herannya, kasus itu sudah terjadi sejak lima tahun silam, tapi baru terungkap saat ini.

Baca Juga: Beredar Akun Official Instagram Predator Seks Herry Wirawan, Netizen: Dasar Iblis

Baca Juga: Predator Seks Herry Wirawan Miliki Ruangan Khusus dengan Kunci Canggih, Polisi : Pejabat Juga Gak Gini Amat
Rudapaksa yang dilakukan HW seorang diri, bermula korbannya berjumlah 12-14 orang, kini berkembang menjadi 21 orang santriwati. Ini jumlah yang sangat fantastik korban rudakpaksa.

Hal itu diungkap Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut bahwa korban rudapaksa Herry Wirawan (36) bertambah menjadi 21 santriwati.

Korbannya pun bukan hanya warga Kabupaten Garut, tapi tersebar di seluruh wilayah. Dari data tersebut, korban rudapaksa asal Garut yang sudah melahirkan sebanyak delapan orang.

Para korban santriwati sudah tinggal bersama orang tuanya, dan mendapatkan pendampingan dari tim P2TP2A Garut.

Ketua P2TP2A Kabupaten Garut, Diah Kurniasari menuturkan, pihaknya tengah melakukan pendampingan terhadap 11 santriwati asal Garut korban tindak asusila oleh oknum guru dan pemilik pesantren di Kota Bandung.

"Harapan kami agar para korban tidak mengalami trauma berkepanjangan sehingga tetap memiliki semangat hidup dan mereka sudah bersama orang tuanya,"

Diakui, P2TP2A Garut beberapa kali datang melakukan pendampingan."Apabila ada yang tidak sanggup mengurusnya, kami coba menawarkan untuk dirawat oleh kami," cetusnya.

Dikatakan, selain melakukan pendampingan kesehatan dan hukum, pihaknya berusaha membantu korban yang masih usia sekolah untuk bisa kembali sekolah maupun melanjutkan kuliah.

"Tim dari P2TP2A Garut  terus menjalin komunikasi dengan orang tua korban serta memantau langsung setiap perkembangan korban, meski mereka sudah bisa berkumpul dengan keluarga," tutur Diah.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menilai terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 21 santriwati dapat diancam tambahan hukuman kebiri.

Ancaman hukuman itu sesuai dengan Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.

Hal itu diungkapkan Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar  kepada wartawan 10 Desember 2021.

Saat ini, kata Nahar, para korban telah mendapat pendampingan dari Lembaga Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak, yang dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat.

“Perhatian khusus diberikan untuk pendampingan psikososial agar anak yang menjadi korban pulih dan dapat kembali ke masyarakat,” kata Nahar.

Untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia Pendidikan, Nahar meminta semua pihak termasuk media, untuk berhati-hati dalam menyampaikan informasi.

"Sebab korban berhak mendapatkan perlindungan identitas diri atau privasi demi menghindari dampak buruk lainnya," cetus Nahar.

Di samping itu, Nahar juga menuturkan Kemen PPPA berharap ada langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.

Bahkan pihaknya meminta kepada seluruh lembaga pengasuhan atau pesantren, wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi diri dari segala bentuk tindak kekerasan, juga memiliki akses  pelaporan segala bentuk perlakuan yang diterima.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, analisis Anjas di Tahiland menuturkan hasil analisisnya pelaku HW pantas mendapat hukuman mati tanpa mengesampingkan HAM.

"Kita simpan dulu bicara HAM  dalam kasus ini terhadap HW, karena jumlah korban yang luar biasa banyak," pungkas Anjas dalam kanal YouTube miliknya itu.**

Editor: Sanny Abraham

Sumber: Beragam Sumber


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah