Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat Mendesak Dilakukan Revitalisasi, Peluang Bisnis Besar

23 Desember 2021, 10:24 WIB
Usaha perkebunan teh rakyat di Kabupaten Purwakarta. /Kodar Solihat/DeskJabar

DESKJABAR – Kalangan stakeholder bisnis perkebunan teh rakyat di Indonesia termotivasi meningkatkan kembali kualitas.

Karena peluang bisnis besar, usaha perkebunan teh rakyat di Jawa Barat mendesak dilakukan revitalisasi, sebagai peluang kebangkitan ekonomi masyarakat perdesaan.

Terkait melihat peluang bisnis yang besar dari usaha teh rakyat, sejumlah stakeholder teh nasional melakukan diskusi Petani Teh Ingin Naik Kelas, dilakukan di Dinas Perkebunan Jawa Barat pada Selasa, 21 Desember 2021.

Selain bidang terkait di Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, juga dihadiri Asosiasi Teh Indonesia, petani teh, dan akademisi.

Baca Juga: PTPN VIII dan Polda Jawa Barat Bahas Pengamanan Areal Perkebunan dari Gangguan Usaha

Dudung Ahmad Suganda, pada diskusi itu masih menjadi plt Kepala Perkebunan Provinsi Jawa Barat, menyebutkan, khusus di Jawa Barat, areal perkebunan teh terbesar adalah di Kabupaten Cianjur (23.707 ha), diikuti Bandung (19.069 ha), Sukabumi (13.677 ha), Tasikmalaya (10.060 ha), Garut (6.823 ha), Purwakarta (4.579 ha), Bandung Barat (2.902 ha), Subang (2.308 ha), Bogor (1.869 ha), Majalengka (661 ha), Sumeang 525 ha), dan Ciamis (174 ha).

Dari jumlah itu, ada pun ada pula usaha perkebunan rakyat, menurut Dudung A Suganda, senada Kepala Bidang Produksi Yayan C Permana, di Jawa Barat menghadapi kendala, yaitu tanaman sudah tua, lemahnya lembaga petani, kurangnya dukungan investasi, dan banyak pabrik teh sudah tua.

Padahal, kata Dudung A Suganda, pada tahun 2020, secara umum, baik dari usaha perkebunan teh baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, Indonesia mampu mengekspor 45,5 ribu ton teh.

Baca Juga: Wayang Golek, Hiburan Masih Digemari Masyarakat Perkebunan Teh dan Pelosok Desa di Kabupaten Bandung

Dari jumlah itu, menurut dia, naik 5,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan menyumbang 96,3 juta dollar AS.

“Jawa Barat adalah penyumbang utama ekspor teh itu,” kata Dudu A Suganda.

Sementara itu, mengambil contoh dari Jawa Tengah, dimana kemitraan petani teh dengan perusahaan perkebunan swasta PT Pagilaran.

Kasmoeri, salah seorang tokoh petani teh mitra PT Pagilaran Jawa Tengah, membandingkan dengan masa kejayaan usaha perkebunan teh rakyat di Pulau Jawa pada tahun 1990-an.

Baca Juga: PTPN VIII Berencana Memulihkan Sejumlah Unit Perkebunan Teh di Jawa Barat

Ia menyebutkan, dahulu rata-rata produktivitas setiap hektar perkebunan teh rakyat sampai tahun 1990-an adalah 1 ton tahun 1990-an dengan kualitas petikan bagus.

Namun sekarang, kata Kasmoeri, rata-rata produktivitas hanya 200 kg/hektare, dulu P+2 skrg P+ jengkal. Itu cara panen menggunakan alat bantu, pisau, gunting, di mesin .

Tapi alat bantu itu salah penggunaan, yang seharusnya mempertahankan kualitas juga selain kuantitas, namun yang . menjadi korban adalah kualitas, jelek sekali,” ujarnya.

Pada sisi lain, menurut dia, usaha perkebunan teh rakyat di Pulau Jawa menghadapi tantangan, yaitu alihfungsi lahan yang terus terjadi.

Baca Juga: Hantu Kini Jadi Bahan Tontonan di PTPN VIII Perkebunan Kertamanah, Pangalengan, Kabupaten Bandung

“Padahal inginnya petani pekebun teh naik kelas, jika pemerintah tidak segera turun tangan, akan membuat para petani teh menjadi turun kelas,” kata Kasmoeri.

Namun untuk jangka pendek di masa sekarang, katanya, buruknya kualitas petikan pucuk teh dari perkebunan rakyat masih tidak masalah.

Sebab, pabrik-pabrik teh memiliki alat lebih modern. Jika warna air teh kurang merah bisa diberi pewarna, perasa, kurang wangi diberi pewangi.

Baca Juga: Areal Perkebunan Kopi Jawa Barat Harus Diselamatkan dari Dampak Perubahan Iklim

“Tetapi, para petani teh ingin ingin kualitas asli, cuma harga komponen itu mahal. Sebab, sudah waktunya petani menjual teh spesial, agar daya saingnya meningkat di pasaran,” kata Kasmoeri.

Mengapa demikian, menurut dia, karena jika para petani teh masih terpaku menjual pucuk, maka masih akan dibayang-bayangi fluktuasi harga seperti pada komoditas sayuran.

Kalau petani ingin membuat produk spesial, kata Kasmoeri, maka harus benar-benar mandiri, berkebun sendiri, petik sendiri, pilah sendiri, sehingga daya tawar jual lebih baik. ***

 

 

Editor: Sanny Abraham

Tags

Terkini

Terpopuler