Pilkada Serentak 2020, Petahana Paling Memungkinkan Lakukan Politik Transaksional. Ini Penjelasannya

11 November 2020, 12:57 WIB
Pilkada Serentak 2020 /fixindonesia.pikiran-rakyat.com/

 

DESKJABAR - Petahana paling memungkinkan melakukan politik transaksional pada Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2020. Politik transaksional dapat dilakukan calon di dalam pilkada atau calon di dalam pemilihan legislatif (pileg).

Hal itu dikemukakan akademisi dari FISIP Universitas Brawijaya Malang, Dr. Wawan Sobari saat menjadi nara sumber pada Diskusi Awasi Yuk! Serial Hukum : Penegakkan Pelanggaran Dana Kampanye, Biaya Politik Tinggi dan Politik Transaksional, yang dilangsungkan secara daring melalui zoom dan live streaming di kanal youtube Bawaslu Jabar, Senin, 9 November 2020.

Dalam diskusi tersebut, Wawan memberikan pemaparan tentang bagaimana politik transaksional yang terjadi di Indonesia.

Baca Juga: Pilkada Kabupaten Bandung, Sosialisasi Tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bandung

Menurutnya, politik transaksional itu peluangnya lebih besar dilakukan calon petahana. Petahana dalam pilkada paling memungkinkan melakukan politik transaksional. Politik transaksional dapat dilakukan calon di dalam pilkada atau calon di dalam pileg.

Wawan menambahkan, sebanyak 87,4 persen diikuti paslon petahana pada pilkada serentak 2020.

Resikonya pada netralitas ASN yang tidak netral, self interest sangat tinggi, konflik kepentingan tinggi, dan berikutnya potensi politik kepentingan. Jika potensi politik transaksional lebih banyak atau istilahnya politik timbal balik.

Baca Juga: Sebanyak 15.000 Cerpelai Mati karena Virus Corona, Peternakan Cerpelai Dikarantina di AS

“Timbal balik politik yaitu untuk suara. Di Australia itu ada praktek politik transaksional tidak bersifat individual dan bersifat komunal. Dia menjanjikan ketika sudah terpilih bukan diawal, ini menjadi legitimasi politik.”ungkapnya.

Sementara itu,Tama Langkun dari ICW, menjelaskan, mahalnya biaya politik sebagai penyebab terjadinya korupsi.

“Mahalnya biaya politik menjadikan para pelakunya melakukan korupsi. Soal pemetaan ada yang penggelapan dan mark up anggaran. Ini rata-rata terjadi di daerah,” tuturnya.

Baca Juga: Warga Bandung Digegerkan Penemuan Mayat Bayi Ditumpukan Sampah

“Dari angka 169 kasus yang mendominasi dari level tingkat daerah. Korupsi berdasarkan jabatan, ada ASN, swasta, kepala desa dan lain sebagainya,” ujarnya menambahkan.

Sementara itu, Fadli Ramadhanil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyampaikan tiga hal krusial dalam dana kampanye, yaitu kandidat itu sendiri menggunakan , mengelola dan mengeluarkan dana kampanye dan melaporkan dana kampanye.

Kedua, orang yang memberikan sumbangan wajib untuk dicatatkan. Karena ada hal-hal yang tidak dilepaskan akan punya keterkaitan yang sangat kuat  apabila nanti dia sudah memegang kekuasaan.

Ketiga yaitu aspek negara. Negara memberikan peran yang signifikan, memberikan sumbangan alokasi tata kelola keuangan parpol dan memberikan bantuan dana kampanye yang digunakan peserta pilkada.

“Kewenangan Bawaslu dapat dimanfaatkan. Sebagai analisis dan pembanding terhadap penafsiran dana kampanye riil peserta pilkada. Untuk menguji keabsahan dan kejujuran yang diserahkan peserta, diperlukan konsolidasi antara Bawaslu, PPATK, OJK, KPK dinilai belum maksimal karena aktornya sangat luas sekali,” ujarnya.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Bawaslu.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler