WASPADA Bahaya Besar Akibat Gelombang Panas Siap Menerjang, Lahan Pertanian Susut Harga Beras Naik 50 Persen

2 Juni 2023, 07:44 WIB
Waspada bahaya besar akibat gelombang panas siap menerjang, lahan pertanian akan menyusut, harga pangan melambung hingga harga beras akan lebih mahal hingga 50 persen /USDA/

DESKJABAR – Waspada bahaya besar akibat gelombang panas siap menerjang, tidak termasuk yang akan dialami Indonesia. Kekeringan akan menyebabkan lahan pertanian menyusut dan pada akhirnya harga pangan termasuk beras akan menjadi mahal. Harga beras akan naik 50 persen.

Ancaman gelombang panas sudah mulai menerjang, di kota Shanghai, China, suhu di kota ini mencapai 36,1 derajat Celcius yang merupakan rekor terpanas di kota tersebut dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.

Baca Juga: Nama Wakil Ketua DPRD Jabar Disebut Sebut Terlibat Dugaan Korupsi Dana Hibah oleh Terdakwa di Sidang

The Intergovernmental Panel on Climate Change  atau IPCC memperingatkan bahwa 8 persen dari tanah pertanian tidak akan lagi  bisa digunakan apabila pemanasan bumi menyentuh 1,5 derajat celcius setiap penambahannya.

Ujung-ujungnya lahan pertanian akan terus menyusut dan proses pertumbuhan pangan juga akan terganggu. Harga beras pada tahun 2050 diperkirakan akan naik sekitar 50 persen, dan ujung-ujungnya krisis pangan akan terjadi.

Krisis pangan dunia akn menjadi ancaman serius yang tidak kalah mengerikan dari ancaman perang. Kelaparan akan terjadi, kemiskinan kian mengancam, apalagi kesehatan masyarakat dunia juga akan semakin memperburuk keadaan.

Bahaya Besar Gelombang Panas Siap Menerjang

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengklaim bahwa suhu global akan naik imbas dari efek gas rumah kaca. Gas rumah kaca akan memerangkap panas dan perisitwa alami El Nino di dalam bumi akan sering terjadi.

Hal ini menurut WMO akan menybebabkan bumi melihat suhu terpanas yang akan terjadi hingga lima tahun ke depan.

Krisis iklim telah mendekatkan kita dengan ancaman gelombang panas, jika kita tidak segera menahan laju krisis iklim maka kelangsungan hidup manusia akan terancam.

Baca Juga: TIGA Tahun Vakum, CFD atau Car Free Day di Kota Bandung Kembali Digelar, Catat Jadwal dan Tata Tertibnya

Intensitas bencana yang semakin tinggi membuat kita sangat dekat dengan ancaman serius yang ditimbulkan akibat krisis iklim. Sudah tidak ada pilihan selain melakukan transisi energi dan stop bahan bakar fosil yang dapat memperburuk kondisi bumi.

Tak perlu menunggu dalam 5 tahun ke depan, saat ini ancaman gelombang panas sudah menerjang bumi ini.

Tercatat pada Senin 29 Mei 2023 sejumlah negara sudah mengalami serangan gelombang panas seperti di India, Vietnam, dan China.

Gelombang panas yang mencapai suhu 45 derajat Celcius melanda India sejak beberapa pekan terakhir semakin membebani warga. Sepanjang bulan Mei, Departemen Meteorologi India (IMD) sudah berulangkali menerbitkan peringatan bahaya panas di sejumlah negara bagian. Suhu ekstrem diklaim belum akan menghilang hingga hujan datang.

Sementara itu, Kota Shanghai di China mencatat suhu tertinggi pada bulan Mei 2023, ketika suhu di kota ini mencapai 36,1 derajat Celcius pada Senin 29 Mei 2023. Angka ini merupakan rekor terpanas di kota ini dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.

Kota Shanghai pernah mencapai suhu terpanas sebelumnya yang mencapai 35,7 derajat Celcius pada tahun 1876, 1903, 1915 dan tahun 2018.

Bagaimana di Indonesia?

Laman Greenpeace Indonesia melaporkan bahwa krisis iklim telah mendekatkan kita dengan ancaman gelombang panas, jika kita tidak segera menahan laju krisis iklim maka kelangsungan hidup manusia akan terancam.

Baca Juga: Di KBB, Petani Perkebunan Kopi Tumpangsari dengan Tomat, untuk Penghasilan Ganda

Intensitas bencana yang semakin tinggi membuat kita sangat dekat dengan ancaman serius yang ditimbulkan akibat krisis iklim. Sudah tidak ada pilihan selain melakukan transisi energi dan stop bahan bakar fosil yang dapat memperburuk kondisi bumi.

Studi yang dilakukan World Weather Arttibution (WWA) melaporkan bahwa ancaman gelombang panas 30 kali lebih sering terjadi dengan naiknya suhu rata-rata di bumi.

WWA juga menyebutkan bahwa kawasan Asia Tenggara dinyatakan sebagai kawasan rentan akan krisis iklim yang akan sering memicu terjadinya gelombang panas.

Bahkan WWA melaporkan dengan kombinasi terjadinya gelombang panas dan tingkat polusi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara akan memunculkan krisis penyakit pernapasan dan kardiovaskular akan semakin meningkat.

Meski IPCC memperingatkan bahwa 8 persen dari tanah pertanian tidak akan lagi bisa digunakan apabila terjadi peningkatan rata-rata suhu bumi yang menyentuh 1,5 derajat Celcius, namun angka 8 persen itu bukanlah angka yang kecil jika melihat kondisi pertanian saat ini.

Penelitian Cornell University pada tahun 2021 menyebutkan bahwa produktivitas pertanian global saat ini saja 21 persen lebih rendah daripada tanpa krisis iklim.

Mengutip dari laman Instagram @greenpeace.id, gelombang panas akan berdampak buruk pada tanaman seperti terjadinya dehidrasi, tingkat penyerbukan berkurang, fotosintesis yang lebih lambat, serta serangga dan pathogen akan lebih mudah menyerang.

Baca Juga: Jalan Terjal Ridwan Kamil di Pilgub Jabar 2024, 6 Figur Ini Siap Menjegalnya: SIAPA SAJA?

Tidak hanya mengancam lahan pertanian dan tanaman pertanian, gelombang panas juga akan mengancam para petani itu sendiri. Gelombang panas yang sering terjadi akan membuat petani di seluruh dunia mudah lelah dan rentan sakit.

Padahal, sebanyak 38 juta orang di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Kesejahteraan para petani akan kian turun akibat krisis iklim tersebut.

Akibat-akibat ancaman bahaya  besar di sektor pertanian tersebut maka panen padi Ciherang di Indonesia diperkirakan akan turun hingga 30 persen pada tahun 2040.

Sementara produksi jagung dunia diperkirakan akan berkurang 24 persen pada tahun 2050, dan produksi telur bisa anjlok hingga 28,8 persen akibat tekanan suhu panas selama 12 hari.

Bila hasil panen turun dan bahan pangan jadi langka maka harga makanan pun akan naik. Lihat saja, baru cuaca ektrem beberapa hari saja membuat harga pangan naik hingga 6 persen.

Dalam jangka panjang The Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD memperkirakan bahwa krisis iklim bisa membuat harga beras menjadi lebih mahal 50 persen di tahun 2050.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler