Ketidaknetralan Bukti Ketidakmampuan dan Takut Kalah Pilpres

- 18 Januari 2024, 19:38 WIB
Presiden Jokowi bersama calon presiden no urut 2 Prabowo Subianto
Presiden Jokowi bersama calon presiden no urut 2 Prabowo Subianto /

DESKJABAR - Pakar ilmu politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ridho Al Hamdi menilai pelanggaran pemilu khususnya ketidaknetralan ASN dan politisasi bantuan sosial (sosial) bersumber dari keinginan untuk menang sekaligus takut kalah dari pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

"Karena paslon 02 semakin takut, khawatir kalau mereka tidak menang. Apalagi sudah terjadi sinyal Ganjar-Mahfud MD melalui berbagai macam pernyataan Puan, Hasto akan merapat ke 01, jika dua putaran ini terjadi. Saya melihat sebagai ilmuwan politik yang terjadi akhir-akhir ini, ini simbol bahwa 02 semakin ketakutan, semakin khawatir kalau mereka kalah. Karena memang ketidakmampuan prestasi yang ditunjukkan," tegas Ridho di Jakarta, Kamis 18 Januari 2024.

Menurutnya, sejak kampanye dimulai, khususnya paslon 02 sudah menggunakan struktur birokrasi untuk menggerakkan pemenangan mereka. Hal itu sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan paslon nomor 02 sekaligus keterlibatan Jokowi yang sangat mendalam untuk memenangkan putranya, Gibran.

Baca Juga: Politisi PDIP Abdy Yuhana Caleg Tervaforit Pilihan Mahasiswa di Pantura Jawa Barat

"Inilah yang kemudian mengakibatkan jumlah gerakan pengusulan pemakzulan presiden, karena memang Jokowi sudah agak keras keterlaluan. Itu yang kemudian wajar adanya pemakzulan. Dan memang harus kita kawal bahwa luber jurdil harus menjadikan prinsip utama Pemilu 2024," ujarnya.

RIdho juga menyoroti kinerja penyelenggara pemilu yang seolah lumpuh. Para tim sukses paslon pun bersuara keras atas hal tersebut.
"Penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu yang saat ini seakan tidak bisa berbuat apa-apa atau mandul, ya memang harus kita kritisi. Karena kalau enggak, mereka semakin tidak becus kerjanya. Nah jadi wajar ketika TPN Ganjar-Mahfud maupun Timnas Amin berteriak soal kecurangan pemilu di berbagai daerah," ungkapnya.

Kondisi dan situasi saat ini dinilai sudah melanggar prinsip pemilu. "Jadi ini sudah tidak jurdil. Paslon 02 benar-benar memanfaatkan struktur birokrasinya, program-program pemerintah, kelihatan banget, kalang-kabut," kata Ridho.

Ridho menilai paslon 02 kalah dalam hal positif dibandingkan paslon lain. Prabowo berulang kali kalah dalam kontestasi pemilihan presiden dan dinilai tidak banyak berbuat selama menjadi Menhan RI. Sedangkan Gibran dinilai sebagai buah dari pelanggaran etik.

"Sehingga enggak ada yang bisa dipertaruhkan dari paslon 02 ini. Dalam banyak kesempatan, terutama debat capres, tidak ada yang bisa diandalkan konsep-konsepnya, malah joget-joget, politik santuy dan lain sebagainya," ujarnya.

Oleh sebab itu, Ridho menyerukan agar publik juga turut mengambil sikap.
"Mari rakyat, masyarakat luas, kita Kawal benar-benar, menjadi pemilih kritis, menjadi pemilih yang berani melawan kecurangan. Karena jelas di berbagai daerah paslon 02 ini memanfaatkan struktur birokrasi. Termasuk presidennya yang benar-benar memanfaatkan, mempolitisasi sumber daya dan program-program pemerintah," pungkasnya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Hukum TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis menduga ada konspirasi yang dirancang untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Salah satunya, maraknya aksi pelanggaran netralitas ASN di berbagai daerah.

“Ini juga ya, satu kecurangan yang sangat telanjang di depan mata kita dan tidak bisa dibenarkan sama sekali,” kata Todung.

Baca Juga: Evaluasi Kecelakaan Kereta, Menhub Budi Karya Sumadi: Jalur Ganda Cicalengka Bandung Selesai Mei 2024

 

Bisa Tegur Presiden

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah mengatakan, Badan Pengawas Pemilu dan kepolisian harus turun tangan untuk menanggapi laporan ketidaknetralan aparat pemerintah, termasuk yang dilakukan Presiden Joko Widodo Dan keluarganya.

“Bawaslu perlu lakukan penegasan atas pelanggaran yang dilakukan, meskipun mereka tidak bisa menindak karena bukan lembaga penegak hukum, tetapi setidaknya menyampaikan statement pengawasan agar diketahui publik jika keluarga Presiden sudah sewenang dalam mengemban amanah sebagai pejabat publik yang semestinya tidak mengekspresikan sokongan politik praktis secara vulgar,” ungkap Dedi.

Salah satu aksi keluarga Presiden Jokowi yang dianggap terlalu vulgar adalah dukungan Walikota Medan, Bobby Nasution, menantu Jokowi dalam mendukung pasangan iparnya, Prabowo-Gibran Rakabuming. Pada laman sosial media ya, Bobby kerap kali hadir dalam acara mendukung Paslon 02 dan baru-baru ini berjoget gemoy bersama istrinya.

“Bobby ini simbol buruknya penegakan hukum kepemiluan, dan tentu lebih banyak lagi kemungkinan terjadi. Sebagai pejabat negara, Bobby harus netral, namun nyatanya memihak," jelasnya.

“Regulasi untuk netralitas ASN sudah ada, tetapi minim penegakan, dan masalah terbesar ada pada pimpinan mereka, seperti yang terjadi di Kota Medan, dipastikan ASN Kota Medan akan jadi mesin politik kandidat tertentu,” ungkap Dedi.

Di tengah maraknya pelanggaran netralitas ASN, Dedi menggugah kepolisian untuk menjalankan tugasnya. “Kehendak netralitas itu seharusnya ada pada kepolisian, jika mereka mau sedikit berupaya, maka kepala daerah sekalipun tidak berani macam-macam,” sebut dia.

Baca Juga: Indra Karya Sabet Penghargaan Lingkungan Hidup, Predikat The Promising di Indonesia Green Award 2024

Kritik juga disampaikan ke Presiden Jokowi selalu pemimpin negara dan juga ayah dari anak dan menantunya. Tidak bisa dipungkiri, kata Dedi, Keluarga Jokowi membawa contoh buruk iklim politik Indonesia.

“Utamanya Bobby dan Gibran sebagai pejabat publik, Bobby dengan Aksi promosi pasangan Prabowo, dan Gibran dengan durasi cuti berlebihan, ini etika yang cukup berantakan dari sisi pejabat publik. Jokowi sebagai Presiden semestinya sangat malu dengan kegagalannya membawa iklim politik nasional tidak kondusif,” tandas Dedi.***

Editor: Yedi Supriadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah