"Indonesia menindaklanjuti pada 28 November 2021. Dunia dan Indonesia sudah jauh lebih cepat dan lebih canggih mengidentifikasi varian-varian baru. Varian baru inilah yang menyebabkan lonjakan," tuturnya.
Baca Juga: Pembelajaran dari Kasus Pembunuhan di Subang, Sumy Hastry: Pentingnya Menjaga dan Melindungi TKP
Menurut dia, cepatnya identifikasi varian baru berkat kapasitas fasilitas dan laboratorium yang canggih. Jika ada varian baru, laboratorium bisa cepat mengidentifikasi sehingga pemerintah dapat cepat pula mengantisipasi.
Ia menjelaskan mengapa varian Omicron cepat menjadi variant of concern, yaitu karena mutasinya sangat banyak. Mutasi-mutasi yang berbahaya dari varian sebelumnya ada di varian tersebut. Totalnya ada sekitar 50 mutasi. Sebanyak 30 mutasi di antaranya ada di spike protein atau di mahkota corona.
Khusus varian Omicron, kata dia melanjutkan, studinya masih berjalan. Untuk itu, masyarakat diharapkan tidak termakan berita hoaks.
"Jadi, kita tidak perlu terlalu panik, terburu-buru, dan mengambil kebijakan yang tidak berbasis data," ujar Budi Gunadi Sadikin.
Berdasarkan data Kemenkes RI, kasus konfirmasi varian Omicron terjadi di 9 negara dengan total 128 kasus. Sedangkan 1.073 kasus probable (masih kemungkinan ada) dilaporkan di 7 negara dengan 4 negara di antaranya berada di Eropa. Total ada 13 negara.
Kasus konfirmasi terbanyak di Afrika Selatan dengan 99 kasus. Demikian pula kasus probable terbanyak di Afsel sebanyak 990 kasus.
Selanjutnya Botswana 19 kasus konfirmasi dan 9 kasus probable, Inggris (2 kasus konfirmasi), Hongkong (2 kasus konfirmasi), Australia (2 kasus konfirmasi), Italia (1 kasus konfirmasi), Israel (1 kasus konfirmasi dan 7 kasus probable).
Selain itu, Belgia (1 kasus konfirmasi), Republik Ceko (1 kasus konfirmasi), Belanda (61 kasus probable), Jerman (3 kasus probable), Denmark (2 kasus probable), dan Austria (1 kasus probable).