THR Selalu Dinanti Menjelang Lebaran, Begini Sejarahnya

- 5 Mei 2021, 10:04 WIB
Wakil Presiden Republik Indonesia, Moh. Hatta mengikuti sholat Idul Fitri di Lapangan Banteng,  dengan pencerahah Moh. Natsir,  8 Juli 1951, saat itu THR bagi para PNS mulai diperoleh.
Wakil Presiden Republik Indonesia, Moh. Hatta mengikuti sholat Idul Fitri di Lapangan Banteng, dengan pencerahah Moh. Natsir, 8 Juli 1951, saat itu THR bagi para PNS mulai diperoleh. /Nieuwe Courant terbitan 9 Juli 1951/Koninklijke Bibliotheek Delpher Belanda

Diberitakan Nieuwe Courant terbitan 23 Juni 1951, dengan mengutip majalah “Sin Po”, bahwa Menteri Keuangan telah mengesahkan tunjangan hari raya (THR). Untuk PNS dengan gaji sampai dengan Rp 125/bulan, memperoleh bonus Lebaran sebesar Rp 100; pegawai negeri dengan gaji antara Rp 125 dan Rp 500/bulan akan menerima 75-50% dari gaji, serta yang level gajinya lebih tinggi dari Rp 500/bulan akan menerima maksimal Rp 250.

Bersamaan dengan pemberian bonus Lebaran tersebut, kata berita itu, pemerintah akan membanjiri pasar dengan tekstil, garam, dan gula agar, para PNS bisa memanfaatkan bonus mereka sebaik-baiknya dengan membeli barang-barang murah di pasar.

Adanya bonus Lebaran bagi pata PNS tersebut, kemudian membuat kalangan pekerja berbagai perusahaan pun menjadi bereaksi menuntut hal sama. Berbagai kelompok organisasi serikat pekerja kemudian memunculkan tuntutan pula, agar memperoleh bonus Lebaran.

Baca Juga: Delapan Singa Penghuni Kebun Binatang di India Positif Covid-19

 

Langsung ramai

Setahun kemudian, pada tahun 1952, dimana Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) memunculkan adanya kewajiban bagi pemberi kerja berupa uang bonus untuk Lebaran.

Catatan diperoleh DeskJabar AID : de Preangerbode terbitan 31 Mei 1952, menyebutkan, pihak P4P memunculkan pedoman pelaksanaan uang bonus atau tepatnya tunjangan untuk Lebaran.

Disebutkan, pedoman ini berarti bahwa pemberi kerja wajib membayar upah ekstra kepada setiap pekerja, baik bulanan, harian atau borongan,  yang telah bekerja minimal tiga bulan hingga Lebaran.

Upah ekstra ini harus seperduabelas dari apa yang diperoleh pekerja dari majikan, antara Lebaran sebelumnya dan berikutnya, dengan minimal Rp 50 dan maksimal Rp 300 (hitungan masa itu).

Halaman:

Editor: Kodar Solihat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x