Polemik Posisi Menteri Karena Presiden Jokowi Membuka Ruang Pelanggaran Pemilu

19 Januari 2024, 19:45 WIB
Presiden Jokowi saat memberikan pernyataan kepada wartawan /

DESKJABAR - Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif LIMA, Ray Rangkuti menilai, semua bentuk pelanggaran harus diadukan ke Bawaslu, meski belum tentu akan ditindak lanjuti.

“Diadukan saja ke Bawaslu, meski saya ragu Bawaslu mau menyelesaikan. Tetapi paling tidak tercatat di Bawaslu. Kita punya memori bahwa peristiwa ini dicatatkan di Bawaslu. Meski saya pesimis Bawaslu punya keinginan untuk mengusut berbagai temuan yang disebut,” kata Ray, Jumat 19 Januari 2024.

Ragam bentuk pelanggaran begitu banyak, dan hal ini sangat menyedihkan. Mulai dari perilaku tidak netral ASN, bansos yang dipolitisasi, termasuk hambatan yang dialami kandidat lain.

Baca Juga: Erick Thohir Antarkan Pesan dan Harapan OjolET kepada Prabowo

Baca Juga: Angkat Isu Transisi Energi Berkeadilan, Mahfud MD Diapresiasi

“Kok Pak Jokowi ini seperti meruntuhkan banyak hal yang berhubungan dengan demokrasi. Dia mempromosikan dinasti politik yang meruntuhkan gerakan anti nepotisme, membuat KPK lumpuh, sekarang pemilu menuju ke arah yang terburuk sepanjang reformasi,” jelas Ray.

Pun dengan keberadaan PP N0.52/2023, salah satunya tentang aturan menteri, anggota legislatif hingga kepala daerah yang tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden (pilpres) yang diteken November lalu. Hal ini semakin mengancam demokrasi, membuka ruang-ruang pelanggaran.

Tanda-tanda demokrasi sakit sangat terlihat jelang Pemilu yang akan diselenggarakan kurang dari satu bulan lagi. Indikator pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat, dan partisipasi publik menurun,sementara aksi nepotisme meroket. “Nah, kita mau mempertahankan (demokrasi) atau set back?" tandas Ray.

Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo menilai aturan PP No.53/2023 berisiko terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kemunduran demokrasi.

“(Dengan) ketentuannya tidak mundur, maka kita akan memasuki situasi yang penuh risiko. Rasanya ketentuan tidak harus mundur itu sedang diambil sebuah risiko,” kata Ganjar kemarin.

Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut dianggap dapat membuat makna pemilu yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) berpotensi tidak terealisasi karena adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Begitu pula dengan kualitas demokrasi yang dipastikan akan mundur.

 

Publik Harus Bersuara

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 membuka potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Aturan itu menyatakan menteri, DPR, hingga kepala daerah tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai capres dan cawapres.

"Kalau saya kira memang itu berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Demokrasi kita ini kan sedang berkembang dan kelihatannya mekanisme-mekanisme demokrasi itu sekarang digunakan oleh para elite untuk kepentingan dirinya. Kan situasi kita sekarang begitu," ungkapnya.

Menurutnya, peraturan itu membuka ruang untuk terjadi pelanggaran pemilu yang dilandasi penyalahgunaan kekuasaan. "Sehingga kalau ada peraturan seperti itu dia membuka ruang bagi elite politik menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya. Menurut saya di situ problem regulasi itu," katanya.

Jeirry menilai proses pemilu saat ini sudah diwarnai dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan untuk memberikan sanksi pada elite ataupun pejabat yang melanggar.

"Lalu sekarang kita lihat, bagaimana penindakan terhadap mereka? Tidak bisa. Inikan mobilisasi ASN, sudah jelas tidak bisa (boleh), TNI/Polri mendukung paslon, kejaksaan, kehakiman, itu main semua, dengan kewenangan yang mereka punya sekarang, dengan jabatan," sebutnya.

Baca Juga: Chairul Yaqin Hidayat Sebut Sungai di Bandung Butuh Perhatian Lebih Serius    

Oleh sebab itu, Jeirry berharap agar aturan tersebut bisa disikapi, entah dengan revisi ataupun uji materi di Mahkamah Agung.
"Ya mestinya kalau bisa direvisi ya direvisi, tapi kan hampir tidak mungkin. Apalagi kalau ada unsur kekuasaan pusat sengaja membuatnya untuk kepentingan pemilu ini," tandasnya.

Jika cara tersebut dirasa mustahil, maka diperlukan suara publik untuk mengingatkan agar demokrasi kembali pada rel yang benar.***

Editor: Yedi Supriadi

Tags

Terkini

Terpopuler