DESKJABAR – Keberadaan Food Estate yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian di Pulau Kalimantan, sedang ditonjolkan sebagai salah satu upaya ketahanan pangan nasional.
Berdasarkan catatan DeskJabar, sebenarnya, urusan pangan sering menjadi persoalan serius bagi masyarakat Indonesia, pada masa kini. Namun kondisi ini terjadi sejak zaman kolonial Belanda, sudah ketergantungan impor pangan.
Sejak zaman kolonial Belanda lalu, urusan pangan sudah menjadi perhatian serius, terutama pada enam pulau, yaitu Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Timor. Catatan ini menjadi salah satu sejarah Jawa Barat.
Ada hal yang selalu menjadi bahan perbincangan, yaitu kondisi terjadinya ketergantungan terhadap sejumlah jenis impor pangan. Lewat tulisan ini, adapoat diketahui penyebab dan awalnya, mengapa Indonesia mengalami ketergantungan impor pangan.
Baca Juga: Penduduk Pulau Jawa Pernah Sering Dilanda Kelaparan, SEJARAH JAWA BARAT
Lewat penelusuran dilakukan DeskJabar dari sejumlah suratkabar yang tersimpan di National Library of Australia, kemudian diketahui penyebab mengapa masyarakat Pulau Jawa menjadi ketergantungan sejumlah impor pangan.
Situasi tersebut kemudian masih berlanjut sampai kini. Bahkan masyarakat Pulau Jawa semakin menggiurkan bagi para pebisnis untuk memasarkan produk-produknya.
Karena kondisinya sudah padat penduduk, Pulau Jawa membutuhkan banyak pangan. Peluang itu rupanya ditangkap oleh kalangan pebisnis pangan di Australia.
Mereka melihat Pulau Jawa adalah sasaran pasar potensial bagi produk-produk negara itu.
Baca Juga: Sejarah Impor Beras, Awal Mula Dikenal Beras Saigon, Dibawa Kapal SS Tjimahi, SEJARAH JAWA BARAT
Impor pangan dalam jumlah besar dari Australia, dimulai dengan diberitakan The Telegraph terbitan Brisbane, Queensland, 20 Agustus 1926 yang mengabarkan Pulau Jawa layak ditangkap para pebisnis sebagai prospek perdagangan pangan yang bagus.
Gambaran itu muncul melalui informasi direktur perusahaan bisnis pangan asal Australia, Fuller, yang baru saja kembali dari perjalanan dari kawasan Asia Timur, untuk mencari pasar bagi tiga industri besar di Australia yang berbisnis pangan.
"Ada 35 juta penduduk Pulau Jawa. Mereka lapar untuk daging, tepung, dan buah-buahan Australia. Jika mereka makan satu apel, mereka akan menjadi heboh, dan suatu hari, itu akan menjadi booming,” ujar Fuller.
Baca Juga: Kota Bandung Pernah Dijuluki “Ibukota Musim Panas”, SEJARAH JAWA BARAT
Disebutkan, Fuller mengatakan suatu saat penduduk Pulau Jawa akan mengalami ketergantungan terhadap pasokan sejumlah jenis pangan dari Australia.
”Karena itu, janganlah menjadi takut kalau orang-orang di Pulau Jawa akan berani menyerang Australia,” katanya.
Dalam perhitungan Fuller, seberapa besar produksi pangan asal Australia yang daat dijual ke Pulau Jawa adalah menghitung dari urusan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.
Seorang tenaga kerja di Australia mampu melakukan lebih banyak pekerjaan dibandingkan dengan sepuluh orang Jawa.
Berita itu juga menyebutkan, untuk memuluskan bisnis pangan tersebut, salah satu taktik utama yang dilakukan Fuller, adalah sejumlah unsur politik di Australia harus mau mendekati kalangan politisi di Pulau Jawa.
Menyuap politisi
Salah satu caranya adalah menyuap dan memberi komisi kepada sejumlah politisi di Pulau Jawa agar mau memuluskan perdagangan produk-produk pangan asal Australia.
Untuk mengamankan bisnis pangan mereka, khususnya ke Pulau Jawa, sejumlah kalangan bisnis di Australia melobi pemerintahnya agar dapat mendirikan pangkalan angkatan laut di Singapura.
Namun, rencana itu kemudian batal dilakukan Australia karena melihat potensi konflik dengan Thailand yang juga dikenal sebagai kawasan penghasil pangan.
Sunday Mail terbitan Brisbane, Queensland, pada 29 Agustus 1937, memberitakan jutaan orang di Pulau Jawa kembali mengalami kelaparan sehingga menyebabkan migrasi penduduk secara besar.
Salah satu penyebabnya, Pulau Jawa mengalami jumlah pertumbuhan penduduk yang serius dan sudah dinilai padat pada masa itu.
Baca Juga: Tanah Pertanian, Harta Tak Ternilai Harganya
Disebutkan, Dr Hart selaku Direktur Urusan Ekonomi Hindia Belanda memberikan informasi bahwa Pulau Jawa sulit membendung terjadinya kondisi serius kelebihan populasi penduduknya.
Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda sudah memikirkan melakukan transmigrasi orang-orang dari Pulau Jawa ke sejumlah pulau terpencil.
Diberitakan pula, pada masa itu penduduk di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa sudah mencapai 42 juta dan di luar pulau 19 juta.
Perbandingan dengan luasan yang agak sama. Pulau Jawa populasinya total sudah 316 jiwa/km2 dibandingkan dengan Jepang yang 168 jiwa/km2.
Sejumlah kawasan besar di Pulai Jawa saat itu juga kondisinya sudah menjadi yang terpadat penduduknya di dunia dengan perbandingan kawasan sekitar delta Sungai Nil Mesir.
Baca Juga: Kesuburan Tanah Pertanian di Jawa Barat Mendesak Dipulihkan
The Daily Telegraph terbitan Sydney, 9 Oktober 1933 memberitakan, pada enam pulau berpenghuni, yaitu Sumatra, Jawa, Bali, Timor, Sulawesi, dan Kalimantan, total ada 62 juta penduduk, terdiri 250.000 orang Eropa dan 60.000.000 orang pribumi, serta 1,4 juta orang Timur (Cina, Jepang, Korea, dsb). Jumlah penduduk pada keenam pulau itu rata-rata naik 20 persen setiap sepuluh tahun.
Disebutkan, besarnya peluang pasar pangan dari Australia pada keenam pulau itu karena jumlah penduduknya setiap tahun makin banyak.
Bahkan, penduduk pada keenam pula itu seleranya yang suka meniru serba kebarat-baratan, mulai kebiasaan, makanan, pakaian, dll.
Baca Juga: Rektor IPB : Jawa Barat Sangat Potensial dan Harus Menjadi Pusat Inovasi Pangan Nasional
Ini disebabkan banyak orang pada keenam pulau itu ada kontak dan metode publik barat, sehingga kehidupannya menjadi serba meniru.
Dalam kondisi itu, menurut berita tersebut, pihak-pihak berkepentingan bisnis dari Australia secara sistematis menciptakan situasi agar penduduk di Sumatra, Jawa, Bali, Timor, Sulawesi, dan Kalimantan lebih banyak mengkonsumsi tepung, biskuit, mentega, buah-buahan segar, dan sayuran asal Australia.
Sampai masa itu dengan membandingkan tahun 1925 dan 1933, Australia satu-satunya negara asing yang mengalami peningkatan dan mempertahankan ekspornya ke Hindia Belanda, dengan meningkatkan perdagangannya sebesar 100 persen. (Kodar Solihat/DeskJabar) ***