DESKJABAR – Pada masa kini, jumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat menjadi banyak dibandingkan zaman dahulu.
Pada zaman kolonial Belanda sampai awal abad ke-19, jumlah kabupaten di Jawa Barat hanya ada sepuluh. Bahkan kemudian, tiga diantaranya dibubarkan, dan merupakan salah satu sejarah Jawa Barat.
Adalah Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang, yang dahulu pernah menjadi Ibu Kota Kabupaten Parakan Muncang yang pernah ada sampai tahun 1811. Namun Kabupaten Parakan Muncang dibubarkan ketika Pulau Jawa dipimpin Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Bingley Raffles tahun 1811-1816.
Pada saat itu, Pulau Jawa sedang berganti menjadi koloni Inggris yang mengambilalih koloni Belanda akibat perang Napoleon di Eropa (1803-1815).
Baca Juga: Penduduk Pulau Jawa Pernah Sering Dilanda Kelaparan, SEJARAH JAWA BARAT
Jejak-jejak Kabupaten Parakan Muncang adalah di Kecamatan Tanjungsari Sumedang dan Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung).
Di Cicalengka-Nagreg, sampai kini ada kawasan bernama Parakan Muncang. Bisa diduga, kawasan itulah yang dahulu merupakan bekas ibukota lama Kabupaten Parakan Muncang sebelum dipindahkan ke Tanjungsari.
Berdasarkan catatan DeskJabar dikutip dari sejumlah suratkabar dan buku yang tersimpan di Koninklijke Bibliotheek Belanda, Tanjungsari dahulunya merupakan ibukota Kabupaten Parakan Muncang. Ada pun lokasi tepatnya, pusat pemerintahan Kabupaten Parakan Muncang adalah di daerah alun-alun Tanjungsari.
Namun, awalnya yang ditunjuk sebagai ibukota baru Kabupaten Parakan Muncang, adalah Andawadak berlokasi di Ciluluk sebelah timur Tanjungsari.
Baca Juga: Kota Bandung Pernah Dijuluki “Ibukota Musim Panas”, SEJARAH JAWA BARAT
Suratkabar AID de Preangerbode terbitan tahun 1931, dengan mengutip tulisan SA Reitsma dan WH Hoogland (terbitan 1921) pada 25 Mei 1810, Gubernur Jenderal, Marsekal HW Daendels, menyebut-nyebut terjadinya pemindahan ibukota Kabupaten Parakan Muncang ke Andawadak bersamaan dengan pemindahan ibukota yang baru Kabupaten Bandung ke tepian Sungai Cikapundung.
Semula, Kabupaten Parakan Muncang beribukota di Cicalengka. Sedangkan Kabupaten Bandung awalnya di Dayeuhkolot.
Urusan kopi
Berdasarkan buku Priangan de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, ditulis F de Haan terbitan tahun 1910-1912, ibukota Kabupaten Parakan Muncang ada di tepian jalan raya besar, dengan didirikan oleh Wiratanoebaja I. Sebelumnya, ibukota Kabupaten Parakan Muncang adalah di Parakan Muncang dekat Cicalengka.
Sebagaimana diketahui, bahwa di Pulau Jawa, termasuk di Jawa Barat, pernah dikenal zaman cultuurstelsel atau tanam paksa, salah satunya adalah tanaman kopi di wilayah Priangan pada zaman Gubernur Jenderal HW Daendels.
Karena hasil produksi kopi itulah pemerintah Hindia Belanda kemudian menjadi kaya, lalu hasilnya disetorkan ke kerajaan Belanda.
Jan Breeman dalam buku yang ditulisnya, Koloniaal Profijt van Onvrije Arbeid, Het Preanger stelsel van gedwongen koffieteelt op Java 1720-1870 terbitan tahun 2010, menyebutkan, karena hasil produksinya disedot ke Kerajaan Belanda di Eropa sana, diam-diam orang-orang pribumi pun ingin menikmati jerih payah dari hasil mereka menanam, termasuk di Kabupaten Parakan Muncang.
Namun oleh pihak Belanda, pengambilan sebagian hasil panen kopi oleh orang-orang pribumi yang terindikasi dilindungi oleh Bupati Parakan Muncang, dianggap perbuatan korupsi atau mencuri dari pemerintah Hindia Belanda.
Baca Juga: Peristiwa Bandung Lautan Api, Jejak-jejaknya Nyaris Terlupakan Zaman, SEJARAH JAWA BARAT
Dituliskan, bahwa pihak Belanda masih “memaklumi” terjadinya “korupsi” kopi dalam jumlah tertentu. Namun kemudian, jumlahnya menjadi membesar sehingga mengkhawatirkan pihak Belanda.
De locomotief terbitan 1 April 1927 memberitakan, sejumlah tokoh pribumi berkumpul di Cicalengka, untuk berdiskusi tentang pencatatan sejarah rumah Bupati Parakan Muncang.
Dalam buku Het Preangerstelsel (1677-1871) en zijn nawerking ditulis Jacob Wouter de Klein tahun 1931, menyebutkan Gubernur Jenderal Raffles membubarkan Kabupaten Parakan Muncang, lalu mantan bupatinya dipindahkan menjadi Bupati Limbangan.
Mengapa bisa memindahkan bupati, kata catatan itu, karena Gubernur Jenderal Raffles memperlakukan para bupati menjadi pegawai negeri. (Kodar Solihat/DeskJabar) ***