Nasib Perkebunan Teh Rakyat di Purwakarta Menjelang Kematian ?  Macet Keuangan Jadi Penyebab

30 Januari 2023, 07:00 WIB
Pemandangan perkebunan teh rakyat di Subang dan Purwakarta, jawa Barat /Kodar Solihat/DeskJabar

DESKJABAR – Usaha perkebunan rakyat dari komoditas teh pernah menjadi andalan usaha masyarakat perdesaan di Jawa Barat.

Tetapi, ada fenomena dimana usaha perkebunan teh di Purwakarta, Jawa Barat, kondisinya makin memprihatinkan, sehingga terancam menjelang kematian usaha ini.

Pemandangan banyak kebun teh sekitaran Darangdan, yang bersama Wanayasa, merupakan sentra perkebunan teh rakyat di Purwakarta, semakin banyak yang kurang terpelihara lagi.

 Baca Juga: Jutaan Bibit Teh di Purwakarta Gagal Terjual pada Musim Tanam Perkebunan Jawa Barat Awal 2023

Situasi perkebunan teh rakyat di Darangdan

Beberapa warga Darangdan, Purwakarta, pada Sabtu, 28 Januari 2023 menyebutkan, bahwa kondisi semakin terpuruknya usaha perkebunan teh rakyat, terjadi selepas tahun 2006, terutama setelah minuman air putih dalam kemasaran semakin diminati masyarakat.

Dari semula masyarakat masih suka minum teh, kini menjadi lebih suka minum air putih kemasan. Bahkan, pada banyak acara hajatan dan lain-lain, suguhan minum teh semakin tersisihkan oleh beralihnya ke air minum kemasan.

Misalnya, Wartini (66) perajin teh yang pernah menjadi bandar teh, senada Ade dari usaha perbibitan tanaman teh di Desa Sawit, Darangdan, yang ditemui secara terpisah, senada menyebutkan, saat ini usaha perkebunan teh rakyat di Darangdan umumnya mengalami situasi serba macet keuangan secara berantai.

 Baca Juga: Manfaat Teh Putih Bagi Kesehatan, di Bogor Diminati Orang Timur Tengah Saat Wisata Perkebunan

Kondisi umum perkebunan teh rakyat

Mereka menyebutkan, hal umum dimana banyak petani teh sering macet pembayaran dari pabrik teh. Sedangkan pabrik teh juga banyak yang macet penjualan.

“Sekarang sih sudah terkalahkan dengan beralihnya selera ke minum air putih kemasan. Minum teh seakan sudah luntur pada budaya masyarakat Jawa Barat,” ujar Wartini.

Disebutkan Wartini dan salah seorang warga lainnya, Nandang yang mengaku pernah lama menjadi bandar teh dan petani teh, sejak tahun 2006, harga pucuk teh sampai ke petani sampai tahun 2023 ini masih rata-rata Rp 1.500/kg.

Tetapi, upah pemetik teh sudah menjadi Rp 1.000/kg, sedang petani pekebun hanya kebagian Rp 500/kg.

 Baca Juga: Di Subang dan KBB, Perkebunan Cengkeh Masih Andalan, Ada Manfaat Lingkungan Hidup

Situasi serba macet dan aneh

“Jadinya aneh, upah pekerja lebih tinggi daripada hasil diperoleh petani. Tetapi ini kondisi karena perjalanan waktu, namun harga pucuk teh belum ada tanda-tanda membaik, apalagi pembayaran dari pabrik sering macet karena penjualannya juga macet,” ujar Nandang.

Repotnya, kata mereka, orang-orang yang bekerja memetik teh semakin sedikit, dan tinggal yang usianya rata-rata sudah tua. Sebab, generasi muda lebih suka mencari kerja di pabrik atau perdagangan, atau lebih suka main HP.

 Baca Juga: Di Subang, Banyak Pekarangan Rumah Lestari Karena Memiliki Tanaman Teh

Pemilik usaha perbibitan teh di Desa Sawit, Ade yang sehari-harinya guru SD, menunjukan kebun bibit teh dirinya yang masih menumpuk stok.

“Gara-gara Covid-19, penjualan bibit teh menjadi anjlok. Penjualan pucuk teh petani juga macet pembayaran dari pabrik, sehingga praktis belum ada petani teh yang melakukan peremajaan tanaman,” keluh Ade.

Diakuinya, penjualan bibit tanaman teh sempat tertolong, karena ada beberapa unit perkebunan teh besar swasta di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur melakukan peremajaan tanaman.

Tetapi secara umum, bisnis bibit tanaman teh belum pulih, karena terdampak efek berantai usaha perkebunan teh rakyat yang masih lesu berkepanjangan. ***

 

 

Editor: Kodar Solihat

Sumber: liputan

Tags

Terkini

Terpopuler