Rusuh Demo GMBI di Mapolda Jabar, Bentuk Irasional Massa, Ibarat Mendekati Mulut Buaya, Ada Tekanan?  

28 Januari 2022, 10:37 WIB
Demo GMBI di Mapolda Jabar, 27 Januari 2020. /ig @lsm_gmbi_kota_bandung/

 


DESKJABAR
- Demo Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) di Markas Polda Jawa Barat (Mapolda Jabar), dan berbuntut rusuh memperlihatkan sifat massa yang irasional. Tak berpikir rasional, ibarat mendekati mulut buaya.

Massa demo yang jumlahnya banyak itu sudah tak bisa lagi berpikir rasional, apapun dilakukan demi memaksakan pendapat. Tak peduli akibat anarkis yang ditimbulkannya. Selain itu, penyebabnya mungkin terjadi tekanan individu (internal) maupun tekanan eksternal.

“Demo GMBI dengan merusak fasilitas milik Mapolda Jabar itu bentuk nyata dari irasionalitas massa,” kata dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad, Dr. Aceng Abdullah, MSi, Jumat 28 Januari 2022.

Baca Juga: Viral! Aksi Dua Remaja Pria Menghina dan Menganiaya Wanita Lansia di Pangalengan

Menurut Aceng Abdullah, mana mungkin jika berpikir jernih orang mau merusak fasilitas milik aparat kepolisian.

“Atau melakukan tindakan anarkis di markas polisi yang dengan mudah pelakunya bisa langsung ditangkap dan dijebloskan ke ruang tahanan. Ibaratnya orang langsung mendekati mulut buaya, sama sekali tidak rasional,” papar dosen yang mantan wartawan ini.

Kumpulan orang yang sedang berdemo dalam istilah psikologi komunikasi disebut sebagai kerumunan (crowds).  

Baca Juga: Hanya dengan Amalan Ini, Bisnis Lancar, Utang Lunas, dan Rezeki Dimudahkan, Simak Penjelasan Syekh Ali Jaber

“Jumlahnya bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang. Mereka berkumpul pada satu titik secara spontan atau berdasarkan ajakan (yang direncanakan),” tutur Aceng Abdullah.

Salah satu sifat dari kerumunan ini adalah irasional. Mereka sering kali tidak rasional untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang melanggar norma. Itu sebabnya kerumunan ini dengan entengnya melakukan aksi tanpa menghiraukan orang lain yang tersiksa dengan aksi irasional ini.

“Contohnya, aksi buruh yang berjalan kaki di jalan tol beberapa waktu lalu. Atau merusak fasilitas di arena demo seperti merusak pagar atau melempar batu, bahkan bisa membakar sebuah gedung,” ujar aceng mencohtohkan.

Baca Juga: TOL CIGATAS Beberapa Hari Lagi Dibangun, Inilah Desa di Garut, Tasikmalaya Ciamis yang Dilewati Tol Prioritas

Karena kerumunan itu tidak rasional, sering kali orang yang berpendidikan atau berakal sehat pun, ketika menjadi bagian dari kerumunan itu, tindakannya tidak sesuai dengan dirinya sendiri.

Aksi anarkis, tambahknya, bisa muncul ketika ada tekanan, baik tekanan eksternal (misalnya dari pihak keamanan) atau tekanan internal individu (misalnya rasa lapar, panas, jenuh, dll).

“Kelompok yang tidak terbiasa melakukan aksi ini biasanya mengabaikan tekanan internal ini sehingga tidak memikirkan makan dan minum peserta demo,” ungkapnya.

Baca Juga: Di Benda Inilah Sekarang Setan Banyak Berkumpul, Bukan di Pohon atau Patung, Simak Penjelasan Syekh Ali Jaber

Bisa saja judulnya aksi damai, tetapi berujung anarkis. Itu disebabkan karena tekanan fisik dan psikis.

Oleh karena itu aksi massa itu jangan dianggap enteng karena bisa berujung radikal.

“Bahkan suporter sepak bola yang bubar secara bersama-sama dan kecewa karena kesebelasannya kalah atau dirugikan wasit, bisa memunculkan perilaku anarkis, termasuk melakukan penjarahan ke toko atau restoran,’ katanya lagi.

Baca Juga: Cara Menerka Orang yang Mempunyai Khodam Pendamping, Lihatlah 5 Ciri-ciri Ini

Demo terkadang diperlukan, ketimbang sebuah audiensi dengan kelompok kecil.

“Kelompok besar itu memiliki daya tekan yang tinggi agar pihak yang didemo mau melakukan perubahan. Kalau demonya kecil biasana mah tara diwaro,” ungkapnya..

Butuh literasi

Sementara itu Lektor Kepala (Associate Professor) Fikom Unpad, Dr Dian Wardiana Sjuchro MSi menggarisbawahi, demo di Indonesia itu selalu melupakan hal penting.

Baca Juga: Hati-hati Ya, Jangan Melakukan Hal Ini di Hari Jumat, Simak Penjelasan Syekh Ali Jaber

Pertama, fungsi demo adalah ‘menyampaikan pendapat’, dan bukan ‘memaksakan pendapat saya pada orang lain’.

Kedua, kesalahpahaman. Ini selalu menghambat dialog antara pendemo dengan pemangku kepentingan.

Ketiga, demo di masa pandemi banyak yang mengabaikan protokol kesehatan: bergerombol, berteriak-teriak, tak memakai masker, dan mengganggu kepentingan publik.

Baca Juga: Ingin Awet Muda dan Sehat, Ternyata Murah Hanya Rp10ribu Saja, Simak Penjelasan dr. Zaidul Akbar

“Tampaknya kita butuh literasi tentang demo. UU nya sudah ada, tapi selalu tidak dilaksanakan oleh pendemo dan pemangku kepentingan,” jelas Dian Wardiana.

Literasi bisa dilakukan pada berbagai jenjang pendidikan, ormas, orpol, dan kelompok-kelompok strategis. “Mereka adalah objek dan subjek,” tuturnya.

Meskipun demo merupakan salah satu fungsi demokrasi, namun karena jumlahnya besar, biasanya para pelaku demo tak berpikir rasional.

Baca Juga: Ternyata Begini Cara Allah SWT Mempertemukan Jodoh, Ga Perlu Pelet, Syekh Ali Jaber Menjelaskan

“Tapi kebanyakan karena tak pernah tahu pasal-pasal UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” ungkapnya.

Selain literasi tentang demo, solusi lainnya, kata Dian Wardiana, adalah penindakan agar ada efek jera.***

Editor: Syamsul Bachri

Sumber: Wawancara

Tags

Terkini

Terpopuler