Memasuki era tahun 60 an praktis ingar bingar musik di tanah air sedikit meredup akibat pergolakan politik di dalam negeri, hal ini sedikit banyak berimbas pada perkembangan musik jazz di Indonesia.
Pada tahun-tahun tersebut, jazz dimainkan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, musisi Jazz dan penggemarnya dihinggapi perasaan takut.
Untungnya hal itu tidak berlangsung lama. Setelah melewati masa sulit, musisi jazz mulai menampakkan geliat lagi di tahun 67.
Tahun 1967, Bubi Chen (piano), Jopie Chen (bass), Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest (drum), dan Maryono (saksofon) sempat mengagetkan penikmat musik jazz dunia karena bisa tampil di ajang “Berlin Jazz Festival”.
Lagu-lagu yang mereka suguhkan di ajang bergengsi itu sangat unik dengan konsep Jazz dan balutan citra Indonesia hingga disebut sebagai “Jazz ala Indonesia”.
Mereka sukses mengaransemen lagu “Djanger Bali” dan “Ku Lama Menanti” yang mereka dedikasikan kepada perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang telah memfasilitasi keberangkatan Indonesia All Star.
Di ajang ini, Bubi Chen mendapatkan respons yang sangat positif dari para penulis Jazz internasional. Ia lantas disebut sebagai pianis Jazz terbaik di Asia dan mendapat gelar sebagai “Art Tatum of Asia”.
Di era 70an yang tak kalah penting juga mencuatnya nama penyanyi dan penulis lagu yang kreatif Margie Segers.
Suaranya yang yang jernih membuat musisi Jack Lesmana jatuh hati pada Mergie, direkrutnya Mergie untuk mendukung proyek rekaman Jack Lesmana berjudul “Siapa Bilang Sayang”,