Amandemen UUD 1945 Beresiko Banyak Kepentingan Masuk

- 8 Desember 2020, 20:52 WIB
Syarief Hasan
Syarief Hasan /KPU

DESKJABAR - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan, menyebutkan setidaknya ada tiga pandangan di tengah masyarakat menyangkut amendemen UUD Negara Republik Indonesia 1945.

"Terkait wacana amendemen UUD, di tengah masyarakat ada tiga pandangan," kata dia, dalam pernyataannya, di Jakarta, Selasa, 8 Desember 2020.

Menurut dia,  Pertama, pandangan yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli. Kedua, pandangan yang ingin mempertahankan UUD hasil amendemen 1999-2002. Ketiga, pandangan yang ingin melakukan amendemen kembali.

Namun, lanjut dia, muncul beragam masalah apabila dilakukan amandemen UUD NRI 1945."Bukan tidak mungkin ada kepentingan-kepentingan lain yang masuk ketika melakukan amandemen dan tidak hanya amandemen khusus haluan negara," ujarnya.

Hal itu dia sampaikan saat membuka diskusi kelompok terfokus dengan tema "Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali Garis-garis Besar Haluan Negara", hasil kerja sama MPR dengan Dewan Profesor Universitas Krisnadwipayana, yang dikutip DeskJabar dari Antara.

Di depan peserta FGD yang berlangsung di Kampus Universitas Krisnadwipayana, di kawasan Jatiwaringin, Jakarta, Selasa, dia mengungkapkan MPR periode kali ini mendapatkan amanah dari MPR periode sebelumnya (2014-2019) untuk melanjutkan kajian terhadap amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

"Untuk melakukan amandemen UUD perlu pendalaman yang komprehensif dengan melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat Indonesia," katanya.

Baca Juga: MPR : Islamophobia Mengganggu Kerukunan

Pendekatan elemen

Menurut dia, MPR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, serta melakukan berbagai upaya pendekatan kepada elemen-elemen masyarakat Indonesia di berbagai daerah, seperti kalangan akademisi perguruan tinggi, lembaga-lembaga pendidikan, birokrasi, ormas dan lainnya untuk berdiskusi dan menyerap aspirasi.

Salah satu klaster yang digali, kata Hasan, adalah kalangan akademisi karena kalangan akademisi memiliki independensi dalam memberikan pendapat dan pandangannya. "Akademisi memiliki independensi demi kepentingan bangsa dan negara. Itulah sebabnya saya selalu berkomunikasi dengan perguruan tinggi," kata dia.

Sebelum menggelar diskusi demikian di Universitas Krisnadwipayana, diskusi serupa serupa juga digelar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Sebelum pandemi Covid-19, dia sudah mendatangi perguruan tinggi di Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan provinsi lain.

Selain soal amendemen UUD 1945, persoalan lainnya adalah siapa yang menyusun GBHN, sebab ada pandangan bila MPR yang menyusun GBHN maka MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara sementara sekarang bukan demikian lagi.

"Karena itu, presiden sebagai pelaksana GBHN maka akan mempertanggungjawabkan kepada MPR. Ini juga menjadi persoalan yang cukup kompleks," katanya.

Untuk itu, dia meminta pendapat dan pandangan para akademisi Universitas Krisnadwipayana melalui diskusi kelompok terfokus terkait dengan persoalan itu. "Pendapat dan pandangan akademisi ini menjadi masukan dan bahan pertimbangan serta kajian bagi MPR terkait dengan haluan negara," katanya. ***

Editor: Kodar Solihat

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah