Di Garut, Bunyi Cerobong Lokomotif Kereta Api Uap Pernah Jadi Tanda Buka Puasa, Kenangan Tahun 1980-an

13 April 2021, 17:15 WIB
Ramadhan tahun 1980, kereta api dari Cibatu ke Garut. /WP7713/Flickr/

DESKJABAR - Diantara masyarakat senior di Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang tinggal di sepanjang rel kereta api, ada kenangan saat bulan Ramadhan pada zaman dahulu.

Menurut beberapa warga di sekitar lintasan rel kereta api tersebut, momen selama bulan Ramadhan menjadi salah satu kenangan tahun 1980-an, yang tak terlupakan di jalur Cibatu-Garut-Cikajang.

Dalam kenangan tahun 1980-an, di Garut, bunyi cerobong lokomotif kereta api uap pernah dijadikan tanda buka puasa saat bulan Ramadhan.

Pada saat itu, kebiasaan ngabuburit menunggu buka puasa, umum dilakukan warga sekitar, mulai anak-anak, remaja, dan orang dewasa, seiring kisah zaman rangkaian tua kereta api uap yang ditarik lokomotif uap yang dijuluki “si Gombar” (seri CC50 dan CC10) dan “si Kuik” (seri C11).

Baca Juga: KENANGAN TAHUN 1980-AN, Menunggu Sahur Ramadhan Sambil Nonton Piala Dunia 1982

Kenangan tersebut di antaranya dilontarkan Agus Suhendar, warga Cikajang (51), yang mengingat kenangan tahun 1980-an, rangkaian kereta api jadwal terakhir dari Cibatu menuju Garut sering berjejal oleh penumpang kereta api.

Pada jam-jam terakhir banyak penumpang ingin tiba di Garut pukul 17.00 untuk memburu segera Maghrib dan buka puasa. Saat Ramadhan, kereta api sering dijadikan sarana ngabuburit.

Kenangan Stasiun Garut selama bulan Ramadhan, masih sangat berkesan bagi warga sekitaran, Idih Ruskanda (68) yang kini tinggal di Bandung. Idih Ruskanda yang mantan Sekretaris Perusahaan PT Pupuk Kujang (persero), Cikampek, Karawang.

Disebutkan pula, sampai tahun 1980-an, pihak Stasiun Garut dan Pabrik Tenun Garut mengakomodasi permintaan warga sekitar, untuk membunyikan cerobong lokomotif kereta api uap sebagai tanda buka puasa dan Imsak. Apalagi, hubungan masyarakat dengan pihak kereta api dan Pabrik Tenun Garut sangat erat.

Baca Juga: KENANGAN TAHUN 1980-an, Ngebreak Radio Komunikasi Pernah Sebagai Alat Pacaran di Udara

Jika tanda buka puasa menggunakan bunyi cerobong lokomotof kereta api uap, sedangkan tanda waktu Imsak, kemudian menggunakan bunyi cerobong dari Pabrik Tenun Garut.

Di Stasiun Garut, dibunyikan bunyi cerobong lokomotif uap sebagai tanda buka puasa. Lalu kemudian, kereta api  pada pukul 18.00 berangkat menarik rangkaian ke Cibatu. 

Namun saat itu, kenang Idih, dari Stasiun Garut masih ada dua rel secara paralel yang menuju ke gudang logistik kereta api dan Pabrik Tenun Garut digunakan untuk rangkaian gerbong tangki pasokan bahan bakar solar.

Bahkan di Stasiun Garut waktu itu ada jadwal ketibaan sapi dan kerbau, gula, beras, teh dan karet, perlengkapan militer, dll. Barang-barang kiriman tersebut,  setelah diturunkan dari rangkaian gerbong kereta api di Stasiun Garut, kemudian diangkut dengan truk ke tujuan.

Baca Juga: Kenangan Tahun 1980-an, Intercom Menjadi Sarana Komunikasi Warga

Idih mengatakan, saat sudah bekerja di PT Pupuk Kujang, ia kembali ke Garut tahun 1984 dan mendapati Stasiun Garut sudah tak ada lagi aktivitas kereta api Garut-Cibatu dan Garut-Cikajang.

Tak lama setelah itu, banyak orang tiba-tiba mendirikan bangunan secara cepat di kawasan stasiun dan lintasan dan secara cepat tertutupi berbagai bangunan secara serabutan.

**

Idih Ruskanda/Dok pribadi Idi Ruskanda

Tahun 1966

Idih Ruskanda pun mengenang jauh ke masa kecil yang tinggal pada di sebuah rumah dekat gudang Stasiun Garut. Saat itu,  ayahnya adalah pegawai kereta api yang masih bernama Perusahaan Negara  Kereta Api (PNKA).

Idih sangat mengingat pada Ramadhan tahun 1966 , yang menurut dia, saat itu berlangsung bulan Juni. Saat itu, Idih masih sekitar 13 tahun dan masih sekolah dasar, yang sering ngabuburit bersama teman-temannya di Stasiun Garut, Stasiun Wanaraja, dan Stasiun Bayongbong.

Baca Juga: Kenangan Tahun 1980-an, di Bandung, Semarak Hobi Merangkai dan Membuat Barang-barang Elektronik

Disebutkan, pada masa itu, selama Ramadhan, umumnya berbagai sekolah diliburkan, termasuk di Garut.  Namun bagi anak-anak, suasana tersebut merupakan kesempatan ngabuburit dengan menggunakan kereta api, baik jalur Cikajang-Garut pp maupun Garut-Cibatu pp.

Ia mengingat, pada tahun 1966, ada jadwal ketibaan bersamaan di Stasiun Garut, antara rangkaian kereta api dari Cikajang dan dari Cibatu, yaitu pukul 6.30 WIB, pukul 12.00. Juga ada jadwal laatste (sebutan umum masa itu atas jadwal terakhir, yang menggunakan bahasa Belanda), pada pukul 17.00.

Menurut Idih, biasanya selepas salat Subuh, atau pagi-pagi, banyak anak-anak mengisi masa libur Ramadhan berjalan-jalan menyusuri rel kereta api, ada yang menuju ke Stasiun Wanaraja ada pula yang ke Stasiun Bayongbong.

Karena masih anak-anak usia belasan tahun, lapar dan haus selama berpuasa kurang terasa, dan terlupakan karena asyik dengan suasana bermain keseharian.

Baca Juga: Tukang Mie Baso Tanggungan, Tinggal Segelintir Namun Masih Banyak Konsumen Fanatik, KENANGAN TAHUN 1980-AN

Ia mengenang, saat itu lebih sering ngabuburit berjalan kaki menyusuri rel dari Stasiun Garut ke Stasiun Wanaraja, apalagi ada uwanya yang juga pegawai PNKA.

Untuk kembali, menaiki jadwal pukul 15.00 yang singgah di Stasiun Wanaraja dengan target pukul 17.00 sudah tiba di Stasiun Garut sehingga tak lama kemudian berbuka puasa.

Disebutkan pula, saat itu banyak anak-anak ngabuburit dengan cara ”uji nyali” pada  jembatan kereta api di atas Sungai Cimanuk.

Caranya, anak-anak tersebut berdiri di jalur kereta api pada mulut jembatan, lalu berlari-lari seakan dikejar kereta api yang datang, untuk beradu cepat mencapai selter (tempat menepi di jembatan kereta api).

 “Dari belakangnya, semakin dekat seakan dikejar lokomotif uap si Gombar yang menarik rangkaian. Tampaknya anak-anak tersebut tak takut jatuh dari jembatan ke sungai,” kenang Idih. (Kodar Solihat/DeskJabar)***

 

 

Editor: Kodar Solihat

Tags

Terkini

Terpopuler