Kelangkaan Pupuk tak Perlu Terjadi, Ini Penjelasan Ketua KTNA Winarno Tohir

27 Januari 2021, 15:48 WIB
Winarni Tohir menilai kelangkaan pupuk bersubsidi tahun ini tidak akan terjadi /Dok PT Pupuk Indonesia

 

DESKJABAR - Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menilai bahwa kelangkaan pupuk bersubsidi pada tahun 2021 seharusnya tidak akan terjadi, karena sebenarnya kapasitas produksi Pupuk Indonesia masih berlebih.

Alasan Winarno Tohir karena hanya 43 persen petani yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi, dari total usulan kebutuhan yang diajukan petani dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).

Mengutip dari kantor berita Antara, kalaupun pada tahun 2020 terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi, menurutnya, hal ini terjadi karena turunnya alokasi pupuk subsidi menjadi hanya 7,9 juta ton.

Baca Juga: Gunung Merapi Luncurkan Awan Panas, Warga 2 Dusun Lereng Gunung Berlarian

Namun demikian, pada September 2020, Kementerian Pertanian menambah alokasi pupuk subsidi sebesar 1 juta ton sehingga total subsidi tahun 2020 menjadi 8,9 juta ton.

Seperti diketahui, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin mengatakan bahwa 2021 masih berpotensi terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi.

Hal ini terjadi karena ada perbedaan besar antara kebutuhan pupuk bersubsidi dengan alokasi yang disediakan melalui APBN, serta validitas data yang belum ideal.

Seperti diketahui, berdasarkan usulan e-RDKK dari seluruh daerah, kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2021 mencapai 23,4 juta ton dengan luas lahan baku 7,46 juta hektar.

Baca Juga: Limbah Medis di Bandung Capai 2 Ton Hanya dalam 3 Bulan, Asalnya dari Sini

Jumlah ini jauh lebih besar dari kemampuan APBN 2021 yang hanya mampu memenuhi sekitar 9 juta ton ditambah 1,5 juta liter pupuk organik cair.

Besarnya perbedaan antara kebutuhan dengan alokasi ini berpotensi terjadinya kelangkaan pupuk subsidi tahun ini.

"Kalau RDKK kan seluruh petani memang disuruh membuat dari luas lahan baku yang ada. Tapi yang perlu diingat, bahwa yang berhak mendapat subsidi maksimal luasan 2 hektar,” papar Winarno.

“Dari pengajuan RDKK itu, yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi hanya 43 persen," kata Winarno.

Baca Juga: Keren, Fandom K-pop di Indonesia Donasikan Rp1,4 Milyar untuk Korban Bencana

Winarno menilai bahwa kebutuhan pupuk subsidi yang mencapai 23,4 juta ton tersebut belum sepenuhnya diverifikasi oleh Kementerian Pertanian jika dilihat dari ketentuan penerima pupuk bersubsidi.

Dalam Permentan Nomor 1 Tahun 2020, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan dengan total luasan maksimal 2 (dua) hektar.

Winarno menjelaskan bahwa dari pengajuan RDKK tersebut, hanya 43 persen saja atau sekitar 10 juta ton kebutuhan pupuk subsidi yang diperlukan bagi petani dengan luas garapan maksimal 2 hektar.

Baca Juga: Inilah Sembilan Ruas Jalan Tol yang akan Dilepas oleh Waskita Karya, Tiga Ruas Ada di Jawa Barat

Selain itu, dalam pengajuan RDKK, terjadi pembulatan luas garapan. Contohnya, petani yang memiliki luas garapan lahan 0,37 hektar dibulatkan dalam RDKK menjadi 1 hektar, sehingga memudahkan dalam pembagian atau distribusi pupuk di kios.

Berdasarkan realisasinya, Winarno menyebutkan bahwa rata-rata penyerapan pupuk bersubsidi pada 2014--2020 setiap tahunnya hanya mencapai 8,9 juta ton.

PT Pupuk Indonesia (Persero) selaku produsen dan BUMN yang ditugaskan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, juga memiliki kapasitas produksi hingga 14 juta ton setiap tahunnya.

"Dengan alokasi pupuk subsidi sebesar 9 juta ton, Pupuk Indonesia masih memiliki stok 5 juta ton untuk pupuk non subsidi, sehingga seharusnya tidak terjadi kelangkaan," kata Winarno.***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler