Ujaran Kebencian Identitas di Medsos Kian Mengkhawatirkan Sejak Pilpres 2019, Komunikasi Dialektis Jadi Solusi

- 8 Maret 2023, 16:54 WIB
Ujaran kebencian meningkat sejak Pilpres 2019. Hal itu dikemukakan dalam Orasi Ilmiah Prof. Dr. Atwar Bajari Drs.MSi, pada Pengukuhan Guru Besar Unpad, Rabu, 8 Maret 2023 di Grha Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur Bandung.
Ujaran kebencian meningkat sejak Pilpres 2019. Hal itu dikemukakan dalam Orasi Ilmiah Prof. Dr. Atwar Bajari Drs.MSi, pada Pengukuhan Guru Besar Unpad, Rabu, 8 Maret 2023 di Grha Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur Bandung. /Dok Istimewa/

DESKJABAR – Peningkatan ujaran kebencian dalam ruang media sosial semakin mengkhawatirkan. Secara statistik, sejak pelaksanaan Pilpres 2019 sampai masa  pandemi  dan sesudahnya, tren ujaran kebencian naik secara kualitas dan kuantitas.  Kominfo merilis berita hoax sebagai salah satu pemicu ujaran kebencian meningkat tajam.

Hal itu mengemuka dalam Orasi Ilmiah Prof. Dr. Atwar Bajari, Drs.Msi, pada acara Pengukuhan Guru Besar Universitas Padjadjaran dalam bidang Ilmu Komunikasi, Rabu, 8 Maret 2023 di Grha Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur Bandung.

Baca Juga: TRAGIS! Maksud Hati Membuat Konten Bunuh Diri, Seorang Gadis Benar-Benar Meregang Nyawa

Orasi Ilmiah yang dibawaknnya berjudul "Ujaran Kebencian dan Konflik Identitas: Mengupayakan Komunikasi Dialektis dalam Media Sosial."

Turut hadir dalam acara tersebut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H. serta istri Gubernur Jawa Barat, Atalia Praratya.

Atwar Bajari menyebutkan bahwa salah satu sumber ujaran kebencian adalah kuatnya perasaan anggota grup dan bukan anggota karena perbedaan identitasnya, yang merembet pada ruang sosial-politik yang memunculkan kebencian berbasis politik indentitas.

Atwar pun menyodorkan konsep komunikasi dialektis sebagai tawaran untuk menciptakan kompromi antarpihak, yang dinilai akan mampu menurunkan tensi kebencian dan konflik identitas.

Ujaran Kebencian Kian Massif

Menurut Atwar, jika dirunut sampai 2017-2018, ujaran kebencian dan hoax meningkat secara tajam. Pada periode itu dilaporkan, penyebaran konten hoax dan ujaran kebencian dilakukan oleh 643 akun asli, 702 semi anonim, dan 2.533 akun anonim.

Sementara Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mlaporkan, selama Juli 2018 terdapat 13 jenis konten ujaran kebencian dan hoax berbau politik lewat berbagai platform di dunia maya.

Sedangkan Kominfo melaporkan pada periode Agustus 2018 hingga April 2019 telah berhasil mengidentifikasi sebanyak 1.731 berita hoax.

Baca Juga: Sidang Isbat Awal Ramadhan 1444 Hijriyah, Berikut Daftar Lengkap 123 Titik Rukyatul Hilal, Jatim Terbanyak

Kompilasi dari Facebook sejak Oktober 2017 hingga Maret 2020, jumlah konten ujaran kebencian memperlihatkan tren meningkat. Angka tertinggi terjadi pada Triwulan I 2020 yang mencapai 9,6 juta konten ujaran kebencian.

Demikian pula di Twitter, terdapat kecenderungan “perang” ujaran kebencian yang jumlahnya lebih tinggi dibandingkan media spsial lainnya.

Atwar Bajari menyebutkan, melalui pendekatan Etnografi Virtual dan analisis kuantitatif, telah meneliti sejumlah terpilih di Facebook dan Twitter selama kampanye Pilpres 2019, saat pandemi Covid-19, dan pasca pandemi Covid-19.

Hasilnya menunjukkan bahwa ujaran kebencian terus bertebaran dengan berbagai frasa kunci khas yang kontektual dengan narasi berbeda dan model pergeseran “dukungan” antar pihak yang berkonflik.

Selama Pilpres 2019, perang ujaran kebencian terjadi antara pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Perang kebencian terus berlanjut pasca pilpres. Pemilu 2019 seolah telah membelah bangsa ini ke dalam dua kelompok yakni “kecebong” dan “kampret”.

Perang ujaran kebencian terus berlanjut di masa Pandemi Covid-19 dimana kelompok oposisi “menyerang” kebijakan pemerintah dalam kebijakan penanganan Covid-19.

Kelompok oposisi diwakili kelompok pendukung Gubernur DKI, Anies Baswedan sebagai hasil metamorfosa para pendukung Prabowo yang merasa telah ditinggalkan.

Komunikasi Dialektis

Menurut Atwar Bajari, ujaran kebencian adalah fakta sosial. Selama sekat perbedaan tidak didiskusikan di atas kepentingan golongan, sulit meredam munculnya kebencian dalam ruang publik.

Baca Juga: Jurusan IPB University, Inilah 10 Daftar Prodi Favorit IPB di SNBP Tahun 2023, Pilihan Anda Termasuk?

Ditambahkan, salah satu sumber ujaran kebencian adalah kuatnya perasaan anggota grup dan bukan anggota karena perbedaan identitas yang merembet pada ruang sosial-politik yang memunculkan kebencian yang berbasis politik identitas.

Atwarpun menawarkan komunikasi dialektis untuk menciptakan kompromi antar pihak. Menurutnya, komunikasi dialektis menekankan dialog dan penyelesaian melalui pertukaran informasi dan pemahaman.

Komunikasi dialektis akan mampu menurunkan tensi kebencian dan konflik identitas melalui tiga hal yakni :

Pertama, komunikasi dialektis mengedepankan pembukaan komunikasi yang efektif antara kelompok yang berbeda. Dalam kontek ujaran kebencian berbasis politik identitas, upaya ini mengurangi ketegangan dan meningkatkan pemahaman antar kelompok.

Kedua, komunikasi dialektis memperhatikan kontek sosial dan budaya yang membentuk perspektif dan pandangan konstituen. Upaya ini dapat membangun titik kesamaan dan mengurangi kesalahpahaman.

Ketiga, komunikasi dialektis menekankan penyelesaian konflik lewat dialog dan negosiasi. Ketika terjadi konflik antar kelompok, pendekatan yang konstruktif adalah mencari solusi lewat diskusi dan pemahaman.

Dalam konteks ujaran kebencian berbasis politik identitas, pendekatan ini mempromosikan kesepakatan yang menghormati hak asasi mnusia dan kebebasan individu. ***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Liputan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x