9 Orang yang Tidak Wajib Puasa dan Tidak Akan Berdosa Bahkan Haram Hukumnya, Simak Penjelasan Buya Yahya

8 April 2022, 09:41 WIB
Buya Yahya menjelaskan 9 orang yang tidak wajib puasa /YouTube Al-Bahjah TV/

DESKJABAR - Setiap umat muslim yang sudah memenuhi syarat diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Puasa Ramadhan termasuk dalam salah satu rukun Islam. Karena termasuk di dalamnya, puasa memiliki keistimewaan bagi seseorang yang melakukannya dengan baik dan sesuai syariat.

Selain itu juga tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa pada Ramadhan agar mendapatkan pahala yang melimpah.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna ming qablikum la'allakum tattaqụn.

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS. Al-Baqarah: 183).

Baca Juga: 9 Hal yang Dapat Membatalkan Puasa Ramadhan Menurut Hukum Fiqih, Berikut Penjelasan Buya Yahya

Sebagai salah satu bentuk ibadah, puasa tidak selamanya berjalan lancar. Puasa yang bernilai ibadah memiliki syarat dan bisa membatalkan jika melanggar syarat-syarat tertentu.

Dalam menjalankan perintah puasa, ada hal yang dapat membatalkan puasa Ramadhan, ada juga hal yang tidak membatalkan puasa, ada pula orang yang tidak wajib puasa.

Buya Yahya menjelaskan 9 orang yang tidak wajib puasa, agar kita paham saat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Dikutip DeskJabar.com dari Instagram @buyayahya_albahjah yang diunggah pada 7 April 2022.

Buya Yahya menjelaskan 9 orang yang tidak wajib puasa, agar kita paham saat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Berikut penjelasan Buya Yahya mengenai 9 orang yang tidak wajib puasa:

1. Anak yang Belum Baligh

Di antara orang yang boleh tidak puasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh sendiri ada tiga, yaitu:

a. Keluar mani bagi anak laki-laki dan perempuan pada usia 9 tahun Hijriyah.
b. Keluar darah haid bagi anak perempuan pada usia 9 tahun Hijriyah.
c. Genap 15 tahun, artinya jika tidak keluar mani dan tidak haid, maka ditunggu hingga umur 15 tahun. Jika sudah genap 15 tahun, maka disebut telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriyah.

Baca Juga: JUM’AT BERKAH, KEUTAMAAN Baca Sholawat Nabi, Syekh Ali Jaber: Dijamin Mendapat Syafaat Rasulullah SAW

2. Orang Gila

Orang gila tidak wajib puasa. Seandainya puasa, maka puasanya pun tidak sah. Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:

a. Gila dengan disengaja

Orang gila yang gilanya karena disengaja(7) jika berpuasa, maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha.

Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila. Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.

b. Gila tidak disengaja.
Orang gila yang gilanya karena tidak disengaja(8) tidak wajib puasa. Seandainya puasa, maka
puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak wajib mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.

3. Orang Sakit

Orang sakit boleh meninggalkan puasa. Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah ia sedang sakit parah yang memberatkannya untuk puasa, dengan perkiraan jika puasa malah bisa mengakibatkan semakin parah penyakitnya atau lambat kesembuhannya yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah:

- dokter muslim yang terpercaya atau
- berdasarkan pengalamannya sendiri.

Catatan:

Dalam hal ini tidak terbatas kepada orang sakit saja. Akan tetapi, siapa pun yang sedang berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan dirinya, maka saat itu dia boleh membatalkan puasanya.

Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang puasa. Berbeda dengan orang sakit, orang sakit boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.

Baca Juga: 4 Link Live Streaming Korea Open 2022, Babak PEREMPAT FINAL Hari Ini Jumat 8 April 2022 LIVE iNews TV

4. Orang Tua

Orangtua (lanjut usia) yang berat baginya untuk melakukan puasa, diperkenankan untuk meninggalkan puasa.

Dalam hal ini, tidak ada batasan umur, asalkan betul-betul baginya puasa adalah memberatkan hingga bisa membahayakan hidupnya, maka ia boleh berbuka puasa.

5. Musafir

Semua orang yang bepergian (musafir) boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan berikut:

a. Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.

b. Berangkat sebelum Shubuh, dengan dipastikan saat Shubuh tiba ia sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).

Misalnya:

Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon-Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi, dan pada pukul 4 pagi tersebut (saat Shubuh tiba) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes. Maka, di pagi hari Sabtu itu ia sudah boleh meninggalkan puasa.

Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, misalnya berangkat pukul 5 pagi dan saat masuk waktu Shubuh, (pukul 4) ia masih di Cirebon. Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh dan ia masih ada di rumah (di kampung/daerahnya). Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.

Catatan:

(1) Seseorang dalam bepergian akan dihukumi sebagai mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari. Misal, seseorang pergi ke Semarang, kemudian saat di Tegal ia sudah boleh berbuka, dan setelah sampai di Semarang ia juga tetap boleh berbuka asalkan tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.

(2) Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari, maka semenjak ia sampai di Semarang ia sudah disebut sebagai mukim, ia tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.

(3) Untuk dihukumi sebagai mukim tidak harus menunggu sampai 4 hari seperti kesalahpahaman yang kerap terjadi pada sebagian orang. Artinya, kapan ia sampai di tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, maka ia sudah disebut sebagai mukim.

Baca Juga: Jadwal Korea Open 2022 Hari Ini: 2 Tunggal Putra Indonesia di Perempat Final, Ini 4 Link Live Streaming

(4) Siapa pun yang berada di perjalanan panjang (tujuannya tidak kurang dari 84 km), maka saat di perjalanan ia boleh berbuka puasa dan boleh menjamak dan mengqashar shalat. Tanpa ada batas waktunya selagi ada harapan untuk mengqadha saat sudah keluar dari bulan Ramadhan.

Yang dihitung 4 hari di sini adalah 4 hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar. Misalnya orang tersebut keluar hari Senin lalu hari Rabu siang dia sudah sampai di Semarang, maka dihitung hari pertama sebagai mukim adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, maka hari Rabu (saat ia datang) dan hari Senin (saat dia keluar) tidak dihitung.

Artinya jika ia masuk tanggal 1 dan niat keluar tanggal 6, maka dia sudah dianggap mukim. Karena jika diambil tanggal 1 (tanggal masuk) dan diambil tanggal 6 (tanggal keluar), maka yang tersisa adalah 4 hari utuh. Itulah yang dimaksud 4 hari 4 malam utuh (hari paling sedikitnya orang disebut mukim).

6. Hamil

Semua wanita hamil boleh meninggalkan puasa dengan kondisi mengkhawatirkan kesehatan:
a. dirinya atau
b. janinnya (bayinya).

7. Menyusui

Semua wanita menyusui boleh meninggalkan puasa dengan kondisi mengkhawatirkan kesehatan:
a. dirinya atau
b. bayi yang masih di bawah umur 2 tahun Hijriyah.

8. Haid

Wanita haid tidak wajib puasa. Jika berpuasa, maka puasanya tidak sah, bahkan hukumnya dianggap haram.

9. Nifas

Wanita nifas tidak wajib puasa. Sama seperti wanita haid, jika wanita nifas berpuasa, maka puasanya tidak sah, bahkan hukumnya dianggap haram.***

Editor: Zair Mahesa

Sumber: Instagram @buyayahya_albahjah

Terkini

Terpopuler