Munggahan Jelang Ramadhan Salah karena Tak Diajarkan Islam? Ini Penjelasan Buya Yahya

22 Maret 2022, 08:28 WIB
Buya Yahya menjelaskan semangat islami dalam tradisi munggahan. /tangkapan layar Youtube Al Bahjah TV/

 

DESKJABAR - Semangat masyarakat Indonesia untuk menyambut bulan mulia Ramadhan memunculkan berbagai tradisi, di antaranya tradisi munggahan.

Tapi benarkah tradisi munggahan ini salah karena tak diajarkan Islam? Bagaimana hukum tradisi munggahan?

Tradisi munggahan terutama hidup di masyarakat Sunda, masyarakat yang dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat.

Dalam tradisi munggahan, mereka berkumpul dengan kerabat untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan. Kemudian di akhir kegiatan, ada acara "balakecrakan”, yaitu memakan makanan yang dihidangkan bersamaan.

Biasanya makanan dalam munggahan adalah makanan yang dibawa oleh masing-masing. Jadi peserta munggahan saling mencicipi makanan tersebut.

Baca Juga: Ramadhan 2022 Sebentar Lagi, Munggahan Itu Tradisi atau Ibadah? Begini Kata Mamah Dedeh

Asal Kata Munggahan

Munggahan berasal dari kata unggah. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia unggah artinya naik, tapi ada pula yang mengartikan masuk.

Warjita, sejarawan Garut yang juga Penilik Kebudayaan di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut menjelaskan, jaman dulu rumah-rumah masyarakat Sunda berbentuk panggung dengan lantai papan atau bilahan bambu yang disebut palupuh. Jika memasuki rumah, mereka harus naik ke tangga pendek yang terpasang tepat di depan pintu. Tangga pendek itu disebut "paranggong".

Ketika ada tetangganya yang datang ke rumah, orang Sunda akan menyambutnya dengan mengatakan: "Sok atuh unggah."

Artinya, "mari naik ke paranggong,". Atau "mari masuk ke rumah".

Baca Juga: TATA CARA, Tahapan Tahapan Ziarah Kubur Menjelang Puasa Ramadhan 2022, Jangan Lupa Baca Ini

"Jadi besar kemungkinan kata munggahan berasal dari dari sana. Namun terlepas dari makna katanya, munggahan merupakan bentuk kegembiraan masyarakat Sunda karena akan masuk ke bulan Ramadhan, atau naik ke bulan mulia Ramadhan," kata Warjita kepada Deskjabar.com, Senin 21 Maret 2022.

Penulis sejumlah buku sejarah tentang Garut itu menambahkan, entah kapan tradisi munggahan ini muncul. Namun yang jelas, kegiatan munggahan ini biasanya diikuti oleh kegiatan kuramasan.

"Kalau istilah Indonesia, keramasan," ujarnya.

Kuramasan atau keramasan adalah kegiatan mandi dengan berkeramas sebagaimana halnya mandi wajib. Tujuannya, agar mereka suci ketika masuk ke bulan Ramadhan.

Benarkah munggahan itu tradisi salah karena tak diajarkan Islam?

Baca Juga: Rajin SHOLAT dan PUASA Tapi Sulit Mendapat REZEKI? Ini Penyebab dan Solusi Dari Ustadz Khalid Basalamah

Buya Yahya mengatakan, tradisi munggahan mirip dengan tradisi ruwahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. Keduanya dilaksanakan saat Ramadhan mau datang.

Bentuk kegiatannya pun sama. Ada kumpulan untuk bersilaturahmi, ada saling membagi makanan dan ada saling memaafkan.

Tradisi ini memang tak dicontohkan oleh para tabiin. Juga tak ada hadits yang membahas munggahan dan ruwahan. Oleh karena itu, munggahan tidak diwajibkan karena tak ada dalam syariat Islam.

Namun, katanya, di dalam tradisi tersebut ada semangat yang dianjurkan oleh Islam. Ada silaturahmi, ada saling memaafkan, ada saling berbagi.

Baca Juga: MUHAMMADIYAH: Puasa Ramadhan 2022, Hisab Hakiki Wujudul Hilal Jatuh pada Sabtu 2 April

"Berkumpul, saling meminta maaf, saling mendoakan, memiliki makna yang agung, justru itu semangat Islam dan merupakan mukadimah menyambut Ramadhan," jelas Buya Yahya dalam ceramah yang diunggah YouTube Al-Bahjah TV berjudul "Hukum Tradisi Ruwahan Jelang Bulan Puasa," tayang tanggal 15 Maret 2022.

"Tradisi membuat makanan kemudian menjamu keluarga dan kerabat dekat adalah makna yang besar, merupakan amalan ibadah yang dianjurkan, apalagi kemudian ada saling maaf-memaafkan" tambahnya.

Meminta maaf pun hukumnya wajib. Karena jika kita punya dosa kepada seseorang kemudian kita meninggal sebelum orang itu memaafkan, maka dosa itu akan dibawa ke alam kubur. Allah tak akan memaafkan sebelum orang memaafkan.

Jadi, lanjutnya, munggahan dan ruwahan memang tradisi. Akan tetapi tradisi itu muncul karena masyarakat bergemibra akan kedatangan Ramadhan.

Dengan demikian tak salahnya melaksanakan tradisi tersebut sepanjang di dalamnya ada nilai-nilai Islam.

"Yang salah itu munggahan saat puasa. Orang lain berpuasa ini malah ramai-ramai makan. Itu jelas salah dan dosa besar. Bukan saja tidak dicontohkan oleh Islam tapi juga dilarang," ungkapnya.***

Editor: Zair Mahesa

Sumber: Wawancara Al Bahjah TV

Tags

Terkini

Terpopuler