Mengenang RA Kartini, Juru Selamat Perempuan Indonesia dari Gelap Menuju Terang

- 21 April 2024, 08:15 WIB
Ilustrasi sosok RA Kartini dalam sampul buku
Ilustrasi sosok RA Kartini dalam sampul buku /ANTARA/HO-Perpustakaan Jakarta PDS HB Jassin/

 

DESKJABAR - Hari ini Minggu tanggal 21 April adalah momen dimana setiap kita warga Indonesia mengenang perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini, pelopor dan pencetus emansipasi kaum wanita agar setara dalam berbagai hal dengan kaum laki-laki.

Bertepatan dengan momen itu pula, surat-surat RA Kartini yang terkenal itu kembali didengungkan untuk mengenang sejarah penyelamatan para perempuan Indonesia dari masa-masa gelap penjajahan menuju terang.

Dan berkat RA Kartini, sudah tak terhitung selama ini perempuan Indonesia yang mampu berdiri dan berkiprah sejajar dengan kaum pria dan bertaruh untuk kemajuan bangsa.

Untuk mengenang perjuangan RA Kartini yang selalu dieringati setiap tanggal 21 April ini, berikut sekilas perjalanannya di Tanah Air:

Baca Juga: Kisah Inspiratif 2 Perempuan Pengusaha Sukses Jalankan Bisnis Ramah Lingkungan

Baca Juga: Wanita Hebat! Susianah Pegawai IKN Raih Women Award dari Asia Choice Awards 2024

Sejarah singkat surat-surat Kartini

Putri dari pasangan bangsawan bernama Raden Mas (R.M.) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah yang lahir di Kota Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 ini tercatat mulai menulis surat pertamanya pada tahun 1899.

Berdasarkan buku berjudul "Kartini: the Complete Writings 1898-1904" yang diedit dan diterjemahkan oleh Periset Senior Ilmu Sejarah Monash University, Australia, Joost Coste, Kartini menulis surat pertamanya kepada salah satu rekannya yang termasuk aktivis pergerakan feminisme di Belanda, Estelle (Stella) Zeehandelaar.

Dalam surat tersebut, Kartini menuliskan keresahannya yang mendambakan kebebasan sebagai seorang perempuan. Ia ingin bergerak untuk kebebasan dan kebahagiaan dirinya sendiri, tidak terkungkung dalam rutinitas domestik yang mewajibkan perempuan Jawa untuk tinggal di rumah pada saat itu dan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Pada surat pertamanya itu, ia juga membahas betapa dalam tradisi Jawa, perempuan, terlebih yang menyandang gelar bangsawan sepertinya, harus patuh terhadap aturan-aturan kerajaan yang sebenarnya ia tentang, termasuk bagaimana dirinya harus berjalan dengan posisi jongkok saat melewati kedua orang tuanya, hanya untuk memperlihatkan rasa hormat.

Ia juga mengeluhkan betapa komunikasi dengan saudara-saudaranya pun terbatas oleh aturan-aturan yang cukup mengekang, misalnya, adik-adiknya yang tak boleh sama sekali menyentuh kepalanya meski hanya untuk bercanda, karena dianggap tidak sopan dalam adat Jawa.

Baca Juga: Kayla yang Meninggal saat Seleksi Paskibraka di Sukabumi Ingin Jadi Polwan, BPIP Melayat Orang Tua Ikhlas

Sejak tahun 1889 hingga 1904, Kartini pun mulai aktif menulis. Surat-surat balasan dari teman-temannya yang telah merasakan indahnya menjadi perempuan di dunia modern, di saat Indonesia masih berperang melawan penjajahan, menyalakan api dalam dirinya untuk terus memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan Indonesia kala itu.

Dalam salah satu suratnya, ia juga menentang budaya poligami yang saat itu masih kental dilakukan di Jawa.

Sebagai korban poligami juga, di mana Kartini pada saat itu dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah memiliki tiga istri dan tujuh orang anak, ia merasa praktik pernikahan paksa tersebut perlu dihentikan, karena perempuan seharusnya boleh menentukan pilihan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup.

Kartini juga sempat menulis surat kepada dua pasangan suami-istri yang merupakan sahabat penanya, Jacques Henrij (J.H) Abendanon dan Rosa Manuela Abendanon. Pada tahun 1900 hingga 1905, J.H. Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (Indonesia).

Halaman:

Editor: Zair Mahesa

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x