Forcing ini meliputi turbulensi, topografi, adanya pemanasan radiatif yang tidak merata di permukaan, adanya pegunungan atau gunung yang besar, dan adanya konvergensi skala besar di permukaan.
“Salah satu dari kelima forcing tersebut berinteraksi dengan variasi angin dalam arah vertikal (vertical wind shear) sehingga awan cumulonimbus ini dapat berkembang menjadi badai guruh,” ungkapnya.
Selanjutnya kata Sonni petir terjadi ketika terdapat pemisahan muatan listrik di dalam awan cumulonimbus, yang menyebabkan distribusi muatan listrik dalam awan berada dalam kondisi ketidakseimbangannya, sehingga terjadilah loncatan listrik atau petir sebagai upaya menyeimbangkan muatan tersebut.
Fenomena petir di Bogor
Lebih jauh Sonni juga memaparkan terkait fenomena petir di Bogor, yakni muatan listrik dalam awan cumulonimbus disebabkan karena adanya kandungan senyawa elektrolit dalam droplet (tetes air).
Ketika droplet lanjut Sonni, bertumbukan satu sama lain, maka terjadi pemisahan muatan listrik dalam awan cumulonimbus. Senyawa elektrolit ini berasal dari aerosol-aerosol yang terlarut dalam tetes awan, dan aerosol ini bisa garam, dan senyawa-senyawa polutan.
“Kombinasi dari efek turbulen, perbedaan pemanasan di permukaan, topografi, pegunungan yang besar, dan konvergensi skala besar, dengan wind shear dan keberadaan gas-gas polutan membuat frekuensi kejadian petir di Bogor sangat tinggi,” Jelasnya.
Selain itu, aktivitas sunspot (bintik hitam di permukaan matahari) dapat meningkatkan aktivitas petir dalam awan-awan cumulonimbus. Sunspot memiliki potensi untuk mempengaruhi aktivitas petir di atmosfer. Akan tetapi, sebut Sonni, perlu dicatat bahwa sunspot memiliki periode 11 tahunan.