"PT Vale tidak melakukan sosialisasi atau konsultasi secara partisipatif kepada pemilik lahan. Padahal, mereka seharusnya melakukan sosialisasi," lanjutnya.
Sementara itu, Pengamat Energi dan Pertambangan, Kurtubi, menyatakan bahwa kerusakan lingkungan yang sering terjadi di sektor pertambangan disebabkan oleh regulasi yang kurang tepat.
Undang-Undang (UU) tentang mineral dan batubara (minerba) yang berlaku saat ini masih mewarisi sistem konsesi dari masa kolonial.
Baca Juga: Jemaah Haji Asal Ciamis yang Meninggal Dunia Bertambah 1 Orang Menjadi 4 Orang
Sistem ini kemudian berubah menjadi izin usaha pertambangan (IUP) atau kontrak karya (KK).
Hal ini menyebabkan pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara menjadi tanggung jawab perusahaan swasta atau asing.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya seharusnya dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Kurtubi menambahkan, izin-izin ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang kemudian menjadi peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri.
Baca Juga: Inilah Tiga Strategi Tingkatkan Kompetensi Pengantar Kerja yang Dijelaskan oleh Kemnaker
"Akibatnya, satu wilayah pertambangan dapat memiliki hingga 4 izin IUP yang tumpang tindih. Hal ini terjadi dalam 20.000 izin usaha. Faktanya demikian," jelasnya.