Rencana Pengenaan PPN pada Sembako Bisa Dorong Lebih Banyak Masyarakat Jatuh Miskin

10 Juni 2021, 11:17 WIB
Ilustrasi warga memindai kode batang untuk pembayaran nontunai di los sembako di Pasar Mayestik, Jakarta. Rencana pengenaan PPN pada sembako menurut Kepala Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta, dapat mengancam ketahanan pangan. /Antara Foto/Aditya Pradana Putra/

DESKJABAR - Rencana pemerintah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok atau sembako, mendapat kritik dari peneliti dan aktivis. 

Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyebutkan, rencana pengenaan PPN pada sembako akan meningkatkan harga pangan, mengancam ketahanan pangan, juga berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum.

"Keterjangkauan pangan yang menurun akan mendorong lebih banyak masyarakat berpenghasilan rendah menuju ke bawah garis kemiskinan," kata Felippa, Rabu, 9 Juni 2021.

Baca Juga: Surya Paloh Ajak Ridwan Kamil Ikut Konvensi Calon Presiden NasDem, Kang Emil: Yang Pasti-pasti Saja

Ia berpendapat, pengenaan PPN pada sembako mengancam ketahanan pangan terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah sehingga lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harganya mahal.

"Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi apalagi di tengah pandemi Covid-19 ketika pendapatan masyarakat berkurang," ujarnya seperti dilansir Antara, Rabu malam.

Felippa menjelaskan, pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga. Bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.

Oleh karena itu, ia menegaskan pengenaan PPN pada sembako tentu akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut.

Baca Juga: Jawa Barat Masuk Lima Besar Penyumbang Kasus Covid-19, Pemda Diimbau Segera Antisipasi

Terlebih lagi, PPN yang ditarik atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada akhirnya akan dibebankan oleh pengusaha kepada konsumen.

Berdasarkan Economist Intelligence Unit's Global Food Security Index, ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat 65 dari 113 negara.

Salah satu faktor di balik rendahnya peringkat ketahanan pangan Indonesia ini adalah masalah keterjangkauan.

Keterjangkauan pangan yang menurun akan mendorong lebih banyak masyarakat berpenghasilan rendah menuju ke bawah garis kemiskinan. 

"Jumlah penduduk miskin sudah mencapai 27,55 juta orang atau 10,19 persen penduduk Indonesia," ucap Felippa mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) September 2020.

Baca Juga: Santunan Kematian untuk Warga Miskin Siap Jadi Perda, DPRD Kota Bogor Tunggu Evaluasi Gubernur Jawa Barat

Menurut dia, kenaikan harga juga akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga masyarakat mengurangi belanja.

Di sisi lain, belanja rumah tangga dan konsumsi pemerintah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi yang relatif dapat didorong dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional.

Seharusnya pilihan terakhir

Secara terpisah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KPRP) Said Abdullah mengingatkan pemerintah bahwa rencana pengenaan PPN untuk sembako seharusnya menjadi pilihan terakhir karena sangat membebani rakyat kalangan bawah.

"Utamakan penerimaan PPN dari sektor lain yang selama ini belum masuk," kata Said Abdullah di Jakarta, Rabu.

Baca Juga: Kenakan Kebaya Merah, Maudy Ayunda Tampil Memesona Saat Wisuda S2 di Stanford University

Menurut dia, rencana mengenakan skema PPN sebagai niat untuk memperkuat penerimaan negara dari pajak adalah hal yang baik-baik saja. Akan tetapi, yang perlu menjadi pengingat jangan sampai membuat situasi masyarakat makin susah terutama kelompok masyarakat kelas bawah.

Ia menegaskan bahwa sembako yang dikonsumsi masyarakat sebagian bahan bakunya dihasilkan dari petani dalam negeri sehingga pengenaan PPN pada sembako bisa berdampak ke mereka.

"Bisa jadi di tingkat petani sebagai produsen bahan baku kena, di konsumen juga kena, dan tentu saja kita perlu ingat, petani dan kelompok produsen pangan skala kecil di pedesaan juga adalah net consumer," tuturnya.

Apalagi, kata Said Abdullah melanjutkan, petani kerap menerima harga rendah dan pendapatan yang cenderung fluktuatif bahkan turun pada saat pandemi Covid-19 ini.

Baca Juga: Waspada Hoaks BPUM 2021, Ini Saluran Resmi Kementerian Koperasi dan UKM RI

Menurut dia, hal itu merupakan situasi yang seharusnya tidak terjadi terutama di tengah kelesuan aktivitas perekonomian seperti sekarang.

Diberitakan sebelumnya, revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) akan mencakup penghapusan sejumlah barang kebutuhan pokok dari kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.***

Editor: Samuel Lantu

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler