THR Selalu Dinanti Menjelang Lebaran, Begini Sejarahnya

5 Mei 2021, 10:04 WIB
Wakil Presiden Republik Indonesia, Moh. Hatta mengikuti sholat Idul Fitri di Lapangan Banteng, dengan pencerahah Moh. Natsir, 8 Juli 1951, saat itu THR bagi para PNS mulai diperoleh. /Nieuwe Courant terbitan 9 Juli 1951/Koninklijke Bibliotheek Delpher Belanda

DESKJABAR – Setiap menjelang Idul Fitri atau disebut Lebaran, masyarakat di Indonesia, terutama kalangan pekerja umat Islam, pada masa kini selalu menanti “tunjangan hari raya” atau populer disebut THR.  

Namun urusan THR tersebut, bukan hanya dinanti kalangan pegawai dan pekerja, kemudian berpengaruh meluas kepada kalangan usaha mandiri. Mereka kemudian menjadi umumnya berjuang memperoleh bekal untuk Lebaran.

Bahkan diketahui, kini banyak orang yang usaha serabutan atau yang tak memiliki pekerjaan, menjadi resah menjelang Lebaran. Bahkan, berharap-harap ada pihak yang memberikan “uang belas kasihan”, untuk bekal merayakan Lebaran.

Baca Juga: Peneliti CIPS: Gudang Pendingin Solusi Atasi Fluktuasi Harga Cabai

Berdasarkan catatan dihimpun DeskJabar dari Koninklijke Bibliotheek Belanda, dalam sejarahnya, THR kepada kalangan PNS dan pekerja mulai muncul pada tahun 1951 dan 1952.

Dalam prakteknya, pemberian THR menjelang Lebaran, sebenarnya bukan hanya kepada kalangan PNS dan pekerja dari umat Islam, namun secara bersamaan juga kepada umat agama lain, bahkan orang tak beragama pun juga memperolehnya. 

 

Ada pun sejarah munculnya THR atau dahulu disebut “bonus Lebaran”, diawali dengan diberikan kepada kalangan pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 1951. Setahun kemudian, kalangan pekerja perusahaan (negara dan swasta) pun menyusul juga diberikan THR.

Baca Juga: Liga Champions 2021, Mauricio Pochettino Menolak Absennya Kylian Mbappe Jadi Kunci Kekalahan PSG

Diberitakan Nieuwe Courant terbitan 23 Juni 1951, dengan mengutip majalah “Sin Po”, bahwa Menteri Keuangan telah mengesahkan tunjangan hari raya (THR). Untuk PNS dengan gaji sampai dengan Rp 125/bulan, memperoleh bonus Lebaran sebesar Rp 100; pegawai negeri dengan gaji antara Rp 125 dan Rp 500/bulan akan menerima 75-50% dari gaji, serta yang level gajinya lebih tinggi dari Rp 500/bulan akan menerima maksimal Rp 250.

Bersamaan dengan pemberian bonus Lebaran tersebut, kata berita itu, pemerintah akan membanjiri pasar dengan tekstil, garam, dan gula agar, para PNS bisa memanfaatkan bonus mereka sebaik-baiknya dengan membeli barang-barang murah di pasar.

Adanya bonus Lebaran bagi pata PNS tersebut, kemudian membuat kalangan pekerja berbagai perusahaan pun menjadi bereaksi menuntut hal sama. Berbagai kelompok organisasi serikat pekerja kemudian memunculkan tuntutan pula, agar memperoleh bonus Lebaran.

Baca Juga: Delapan Singa Penghuni Kebun Binatang di India Positif Covid-19

 

Langsung ramai

Setahun kemudian, pada tahun 1952, dimana Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) memunculkan adanya kewajiban bagi pemberi kerja berupa uang bonus untuk Lebaran.

Catatan diperoleh DeskJabar AID : de Preangerbode terbitan 31 Mei 1952, menyebutkan, pihak P4P memunculkan pedoman pelaksanaan uang bonus atau tepatnya tunjangan untuk Lebaran.

Disebutkan, pedoman ini berarti bahwa pemberi kerja wajib membayar upah ekstra kepada setiap pekerja, baik bulanan, harian atau borongan,  yang telah bekerja minimal tiga bulan hingga Lebaran.

Upah ekstra ini harus seperduabelas dari apa yang diperoleh pekerja dari majikan, antara Lebaran sebelumnya dan berikutnya, dengan minimal Rp 50 dan maksimal Rp 300 (hitungan masa itu).

 

Baca Juga: Liga Champions 2021, Bagi Riyad Mahrez Kunci Kemenangan Manchester City Adalah Kolektivitas

Dalam berita itu pula, ada pun pihak yang kemudian langsung bereaksi terhadap pedoman tunjangan Lebaran dari P4P itu, adalah para pegawai kereta api.

Pengurus pusat dari serikat pekerja kereta api langsung menuntut agar Djawatan Kereta Api (DKA) memberikan bonus lebaran kepada pekerja bulanan serta pekerja harian dan pensiunan.

Serikat pekerja kereta api menuntut tunjangan hari raya, dengan besaran gaji kotor sebulan untuk pekerja bulanan, dan harian dan satu bulan pensiun untuk pensiunan. (Kodar Solihat/DeskJabar) ***

 

 

 

 

 

 

Editor: Kodar Solihat

Tags

Terkini

Terpopuler