AIR Waduk Jatigede Menyusut Drastis, Dulu Waduk Ini Telah Menenggelamkan Situs Kerajaan Sumedang Kuno

- 30 September 2023, 06:10 WIB
Salah satu dusun di Desa Cisurat, Kecamatan Wado, Sumedang, yang dulu tenggelam kini muncul kembali ke permukaan Waduk Jatigede, akibat kemarau ekstrem. Waduk ini telah menenggelamkan situs peninggalan Kerajaan Sumedang Kuno.
Salah satu dusun di Desa Cisurat, Kecamatan Wado, Sumedang, yang dulu tenggelam kini muncul kembali ke permukaan Waduk Jatigede, akibat kemarau ekstrem. Waduk ini telah menenggelamkan situs peninggalan Kerajaan Sumedang Kuno. /YouTube Purdapur Channel/

DESKJABAR – Musim kemarau ektrem yang terjadi saat ini berdampak cukup hebat, di antaranya Waduk Jatigede Sumedang mengalami kekeringan dan memunculkan bekas dusun di dasar waduk ke permukaan. Hal ini mengingatkan kembali bahwa waduk seluas 4.983 hektare itu dulunya dibangun di atas lahan bekas kerajaan Sumedang kuno.

Kekeringan ektrem telah membuat debit air Waduk Jatigede menyusut drastis dan memunculkan dasar waduk ke permukaan. Hal itu kemudian dimanfaatkan warga sekitar untuk bercocok tanam dan sekadar untuk jalan-jalan.

Baca Juga: Waduk Jatigede Sumedang Kekeringan, Dasar Permukaan Bisa Dipakai Jalan-jalan Kendaraan

Munculnya dataran di dasar Waduk Jatigede ke permukaan, mengingatkan kembali akan lahan tersebut yang akhirnya dipaksa harus tenggelam ke dasar waduk. Padahal, lahan di wilayah itu dikenal sebagai kawasan yang kaya akan prasasti dan peninggalan sejarah kerajaan Sumedang kuno.

Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang merupakani salah satu danau buatan terbesar di Indonesia. Waduk seluas 4.983 hektar ini berfungsi sebagai tempat menampung cadangan air, pengendali banjir, irigasi, pembangkit listrik tenaga air, serta menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Provinsi Jawa Barat.

Waduk Jatigede diresmikan pada 2015 lalu, dan baru beroperasi penuh dua tahun setelahnya. Namun siapa sangka jika ternyata perencanaan pembangunan waduk tersebut, sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.

Ketika itu, Pemerintah Hindia Belanda merencanakan pembangunan tiga waduk di sepanjang aliran Sungai Cimanuk, dan Waduk Jatigede merupakan waduk utama yang paling besar. Namun rencana tersebut gagal direalisasikan karena mendapat penolakan dari masyarakat Sumedang.

Setelah melewati puluhan tahun, rencana pembangunan Waduk Jatigede kembali disuarakan. Menurut beberapa sumber, langkah pertama yang dilakukan adalah merelokasi desa-desa yang berada di area pembangunan waduk.

Peningggalan Kerajaan Sumedamg Kuno

Diresmikan pada 2015 dan beroperasi penuh pada tahun 2017, ternyata perjalanan pembangunan Waduk Jatigede memang cukup panjang. Walaupun pembangunan fisik waduk tersebut dimulai pada tahun 2007 dan selesai pada tahun 2015, namun proses persiapannya sudah dilakukan sekitar 20 tahun sebelumnya.

Baca Juga: Polisi Tetapkan 5 Tersangka Pemalsuan KK Dalam Proses PPDB Online Tingkat SMP dan SMA di Kota Bogor

Relokasi pertama dilakukan pada tahun 1982, sedangkan desain pembangunan Waduk Jatigede dilakukan pada 1988. Tercatat ada 28 desa di Kecamatan Darmaraja, Kecamatan Wado, Kecamatan Jatigede, dan Kecamatan Jatinunggal, yang terpaksa harus ditenggelamkan.

 Namun dalam proses perjalannya, pembangunan Waduk Jatigede sempat mendapatkan tantangan yang berkait dengan situs-situs sejarah dan cagar-cagar budaya yang tidak ternilai harganya. Situs-situs yang ada di wilayah ini sebagian merupakan peninggalan masa prasejarah (terlihat dari tradisi megalit yang ada).

Di wilayah terutama di Kecamatan Darmaraja, ada cukup banyak peninggalan Kerajaan Tembong Agung/Sumedanglarang, dan sebagian lagi makam leluhur pendiri desa, ada juga yang tidak diketahui asal-usulnya.

Mengutip makalah berjudul “Jatigede Dalam Tinjauan Sejarah dan Budaya” yang dirilis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat yang ditulis Mumuh Muhsin Zakaria, menyebutkan bahwa menurut penelitian arkeologi, peninggalan-peninggalan leluhur ini, memperlihatkan adanya transformasi dari masa prasejarah (masa sebelum dikenal tulisan) ke masa sejarah (masa setelah dikenal tulisan).

Jadi, makam kuno yang tergolong budaya megalit (batu-batu besar) itu adalah warisan prasejarah yang terus difungsikan pada masa sejarah.  Secara kuantitatif lebih dari 25 situs yang akhirnya terendam air.

Sumedang memiliki sejarah “pemerintahan” yang panjang. Selepas masa prasejarah, Sumedang memasuki masa sejarah yang diawali pada tahun 9008 ketika Kerajaan Tembong Agung berdiri.

Baca Juga: Asian Games 2022 Hangzhou, Kiprah Tim Bulutangkis Putra dan Putri Indonesia Terhenti, Berharap di Perorangan

 Ibu kota kerajaan ini terletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung (sekarang termasuk Kecamatan Darmaraja). Bekas-bekas kerajaan Tembong Agung sudah sulit dikenali, hanya ditemukan sebaran keramik Cina dari masa Dinasti Ming.

Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Guru Aji Putih. Kerajaan Sumedanglarang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.

Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12 (sebagian sumber menyebutkan abad ke-11).***

Editor: Dendi Sundayana

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah