Selain itu, kata Untung, praktik gratifikasi atau suap tak bisa juga dihindari. Menurut dia, peluang praktik ini terjadi di lingkungan pegerka migran Indonesia terbuka terlebih dalam pelayanan publik.
"Gratifikasi atau suap juga mungkin terjadi dalam pelayanan publik dan dokumen, pengerahan surat izin pengerahan (SIP) dalam perekrutan TKI dan lain sebagainya. Artinya subjek pelaku tindak pidana yang tidak lagi semata dilakukan oleh individu, melainkan oleh sindikat kejahatan serta korporasi yang terorganisir dan lintas negara (transnational organized crime)," kata dia.
Untung juga menuturkan dalam praktiknya, kejahatan penjualan orang ini dilakukan oleh korporasi. Modus yang digunakan mereka sering seolah-olah membuka jasa penyalur berbentuk CV maupun PT.
Menurut dia, kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada korporasi sudah diberikan secara eksplisit dalam rumusan Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi, maka UU ini telah mengatur mengenai manusia dan korporasi sebagai subjek hukum.
"Ditempatkanya korporasi dalam subjek hukum tindak pidana human trafficking dapat memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan dan pemberantasan tindak pidana human trafficking," tuturnya.
Jaksa juga bisa berperan dalam penanganan pekerja migran Indonesia ini. Salah satunya, kata dia, dengan mengajukan tuntutan restitusi korban kasus perdagangan orang. Restitusi sendiri merupakan gugatan bersifat perdata.
"Dalam kasus perdagangan orang, ketentuan restitusi ditarik ke dalam ranah hukum pidana, sehingga jaksa selaku penuntut umum dapat mewakili korban mengajukan restitusi," katanya.***